Kasus Brigadir J, Obstruction of Justice dalam RKUHP Harus Diperbaiki
Utama

Kasus Brigadir J, Obstruction of Justice dalam RKUHP Harus Diperbaiki

Karena RKUHP belum mengatur soal bagaimana bila penegak hukum di lingkungan peradilan, seperti seperti hakim, penyidik, dan penyelidik melakukan perbuatan yang merendahkan martabat, kewibawaan, dan/atau kehormatan lembaga peradilan. Obstruction of Justice dapat dikategorikan sebagai tindakan Contempt of Court.

Oleh:
Rofiq Hidayat
Bacaan 4 Menit
Ilustrasi
Ilustrasi

Banyak personil kepolisian yang ditengarai melanggar kode etik profesi sebagai anggota Polri dalam kasus pembunuhan Brigadir Nofriansyah Yoshua hutabarat alias Brigadir J sebagai bentuk menghalang-halangi proses penyidikan atau lazim disebut Obstruction of Justice. Ketidakprofesionalan sejumlah anggota Polri dalam olah Tempat Kejadian Perkara (TKP) yang berdampak terhadap keberadaan barang bukti menjadi salah satu contoh dari banyak kasus obstruction of justice. Lantas seperti apa aturan obstruction of justice dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)?

Guru Besar Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Al-Azhar Indonesia (UAI) Prof Suparji Ahmad menerangkan tindakan menghalang-halangi proses peradilan telah diatur dalam KUHP dan hukum pidana khusus (UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi). Dalam KUHP, tindakan obstruction of justice dalam sejumlah pasal dapat diartikan sebagai tindakan menghalang-halangi proses peradilan.

Hanya terdapat satu pasal yang secara jelas menyebutkan unsur dan tujuan yakni frasa “untuk menghalang-halangi atau menyusahkan pemeriksaan dan penyelidikan atau penuntutan” sebagaimana tertuang dalam Pasal 221 ayat (1) sub 2e KUHP. Pasal 221 ayat (1) KUHP juga mengatur mengenai perbuatan menyembunyikan orang yang melakukan kejahatan dan menghalang-halangi penyidikan.

“Perbuatan tersebut dapat dikategorikan sebagai tindak pidana terhadap proses peradilan (Contempt of Court),” ujarnya saat berbincang kepada Hukumonline, Senin (15/8/2022).

Baca Juga:

Baginya, perbuatan menyembunyikan orang yang melakukan kejahatan dan menghalang-halangi penyidikan dapat dikategorikan sebagai tindak pidana terhadap proses peradilan. Termasuk perbuatan merekayasa kasus atau rekayasa bukti (fabricated evidence). Menurutnya, perbuatan tersebut pun tergolong sebagai obstruction of justice sebagaimana diatur dalam Pasal 221, 231 dan juga 233 KUHP.

“Perbuatan yang juga tergolong sebagai menghalang-halangi proses peradilan tersebut bisa dalam bentuk menyampaikan bukti, keterangan palsu, atau mengarahkan saksi untuk memberikan keterangan palsu dalam proses peradilan,” ujarnya.

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait