Kasus Cebongan, Bukti UU Peradilan Militer Perlu Direvisi
Berita

Kasus Cebongan, Bukti UU Peradilan Militer Perlu Direvisi

Peradilan militer dinilai belum mampu memenuhi rasa keadilan bagi korban dan masyarakat.

ADY
Bacaan 2 Menit

Al menilai jantung reformasi TNI adalah revisi UU Peradilan Militer. Sebab, dengan direvisinya regulasi itu posisi anggota militer ketika berhadapan dengan hukum sama seperti WNI lainnya yaitu di bawa ke pengadilan umum. Jika revisi itu tidak dilakukan, maka ada keistimewaan di hadapan hukum yang diterima salah satu kelompok masyarakat yaitu militer karena mereka diadili lewat pengadilan khusus. “Sebenarnya tidak boleh ada warga negara yang diistimewakan. Tapi Pemerintah dan DPR mau kalau ada WNI yang istimewa dihadapan hukum makanya peradilan militer tidak direvisi,” urainya.

Pada kesempatan yang sama anggota koalisi dari Elsam, Zainal Abidin, mengatakan hasil persidangan kasus penyerangan lapas Cebongan tak ubahnya seperti peradilan militer pada kasus lain yang pernah digelar. Sebab, vonisnya selalu luput meminta pertanggungjawaban atasan. Zainal melihat kelemahan dalam peradilan militer adalah aktor penegak hukumnya merupakan anggota militer. Mulai dari proses investigasi sampai hakim di persidangan.

Oleh karenanya Zainal menganasir tidak menutup kemungkinan sejak awal investigasi, sudah ditunjuk prajurit mana saja yang nantinya dijatuhi vonis. “Semuanya dari militer, hal seperti itu bisa diatur,” ungkapnya.

Zainal melihat dalam persidangan itu ada paradoks terkait motif para pelaku dengan wacana yang disodorkan ke publik tentang pemberantasan premanisme. Misalnya, fakta yang ada sepanjang persidangan menunjukan dengan jelas motif para pelaku adalah balas dendam. Namun, terjadi pembodohan kepada publik bahwa tindakan yang dilakukan para pelaku merupakan pemberantasan premanisme.

Persoalan lainnya yang terjadi dalam persidangan, Zainal menilai banyak tindakan intimidatif. Padahal, janji awal persidangan dikatakan bahwa prosesnya akan berlangusng secara terbuka. Memang ada indikasi hal itu dilakukan, seperti memberikan informasi terkini atas jalannya persidangan kasus Cebongan kepada publik lewat website resmi hakim oditur. Tapi peradilan yang berlangsung memberi ruang besar kepada ormas-ormas tertentu yang dirasa menimbulkan suasana intimidatif sehingga dapat mempengaruhi kondisi persidangan. “Situasi itu menyebabkan janji bahwa peradilan militer transparan dan terbuka, tidak tercapai,” imbuhnya.

Sementara anggota koalisi dari KontraS, Haris Azhar, mengatakan persidangan gagal menyajikan fakta utuh kasus penyerangan lapas Cebongan. Misalnya, fakta yang dihadirkan adalah peristiwa per 22 Maret 2013 di mana Serda Ucok mendengar kabar rekannya meninggal, kemudian mengajak sejumlah kawan-kawannya yang akhirnya terjadi penyerangan lapas Cebongan. Namun, Haris menilai fakta yang dijabarkan di persidangan itu mengaburkan fakta lainnya. Seperti peristiwa di Hugos Cafe yang berlangsung sebelum terjadinya penyerangan lapas Cebongan. Menurut Haris kedua peristiwa itu berkaitan namun luput disajikan di persidangan.

Kemudian, rapat yang terjadi antara Kapolda Yogyakarta ketika itu dengan beberapa pimpinan militer teritorial setempat. Menurut Haris Kapolda Yogyakarta ketika peristiwa penyerangan lapas Cebongan terjadi, layak dipanggil ke persidangan untuk diperiksa. Sayangnya, hal itu tidak dilakukan. Padahal, Haris yakin Kapolda Yogyakarta punya informasi penting seputar rapat itu.

Haris juga menyoroti proses persidangan luput meminta pertanggungjawaban kolektif para pelaku. Mengingat belum banyak fakta yang diungkap dalam persidangan, Haris merekomendasikan oditur militer untuk menindaklanjutinya. “Jadi, 12 orang yang di bawa ke persidangan untuk diadili berdasarkan perannya masing-masing, tapi tidak dilihat motif kolektifnya,” katanya.

Tak ketinggalan, Haris menyesali sikap sejumlah komisi negara terhadap hasil persidangan kasus penyerangan lapas Cebongan. Seperti Komnas HAM, Komisi Yudisial dan MA yang tidak mengkritisi. Mestinya, Haris melanjutkan, berbagai komisi negara itu mempertanyakan kenapa pengadilan dengan mudah dimasuki ormas yang berdemonstrasi. Lalu, kenapa majelis hakim membiarkan teriakan yang kerap terjadi di dalam pengadilan. Serta, Haris mempertanyakan kenapa MA tidak bersuara ketika LPSK meminta agar saksi yang hadir di persidangan diberi kenyamanan dan perlindungan ketika bersaksi di pengadilan.

Khusus untuk Komnas HAM, Haris menyesalkan kenapa lembaga yang mengurusi soal HAM itu menyerahkan kepada militer terkait mekanisme lain. Padahal, Komnas HAM dapat bertindak karena punya landasan hukum yang jelas yaitu UU No.26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM.

Tags:

Berita Terkait