Kasus Jiwasraya Tak Lepas dari Lemahnya Pengawasan Regulator
Berita

Kasus Jiwasraya Tak Lepas dari Lemahnya Pengawasan Regulator

Pengamat asuransi memberikan dua skema terkait penyelamatan Jiwasraya. Pengembalian dana nasabah harus mendapat prioritas.

Fitri Novia Heriani
Bacaan 2 Menit

 

Kedua, untuk jangka pendek skema holding dengan pembentukan Jiwasraya Putera mungkin dilakukan. Melalui skema ini, ada dua cara yang bisa dilakukan pemerintah yakni dengan menerbitkan surat utang, dan yang paling memungkinkan dan cepat adalah dengan melakukan pinjaman kepada institusi internasional. Hal ini disebabkan karena dana yang dibutuhkan untuk menolong Jiwasraya sangat besar, mencapai Rp42 triliun.

 

“Dibutuhkan dana Rp42 triliun dan itu sebenarnya saya sebagai orang asuransi di luar nalar, dari mana duit diperoleh. Pinjaman kepada institusi internasional itu menjadi solusi sangat cepat dalam waktu satu bulan bisa dilakukan,” ungkapnya.

 

(Baca: Kasus di Industri Jasa Keuangan Berujung Evaluasi UU OJK dan BI)

 

President Direktur Center for Banking Crisis (CBC), Achmad Deni Daruri, mengatakan seluruh lembaga negara yang berkomitmen menyelesaikan sengkarut keuangan PT Asuransi Jiwasraya (Persero) perlu mengutamakan kepentingan nasabah. "Artinya, dana mereka harus segera dikembalikan," kata Daruri seperti dikutip Antara di Jakarta, Senin (3/2).

 

Daruri berharap semua pihak DPR, BPK, Kejaksaan Agung, dan Ombudsman menggunakan kewenangannya untuk perlindungan nasabah dengan pendekatan bisnis yaitu mengembalikan uang nasabah secara terukur, obyektif, kredibel dan akurat dengan pendekatan bisnis. "Nasabah lah yang hari ini dirugikan bukan negara dalam kasus Jiwasraya," paparnya.

 

Ia mengaku miris lantaran ada ada pihak yang mempunyai kewenangan, namun berakrobat politik atau hukum hanya untuk menunjukan superioritas lembaga, tanpa memperdulikan pemegang polis yang hari ini menunggu kepastian pembayaran. Dikatakan, sistem keuangan non bank saat ini, masih jauh dari kokoh. Seiring dengan adanya beberapa kasus terakhir seperti Jiwasraya.

 

Berdasarkan UU No.9 Tahun 2016 tentang Pencegahan dan Penanganan Krisis Sistem Keuangan (PPKSK), ada klausul yang menyatakan bahwa lembaga jasa keuangan yang dianggap dapat memicu krisis keuangan adalah bank, dan bukan asuransi. Logika dasarnya adalah bank memiliki ukuran aset, luas jaringan, kompleksitas transaksi dan keterkaitan yang lebih besar dengan sektor keuangan lainnya.

 

"Sementara itu berdasarkan akal sehat lembaga keuangan apakah bank ataupun non bank berpotensi memiliki ukuran aset, luas jaringan, kompleksitas transaksi dan keterkaitan yang secara relative besar dengan sektor keuangan lainnya," paparnya.

Tags:

Berita Terkait