Kasus Yuyun, Momentum RUU Penghapusan Kekerasan Seksual Masuk Prolegnas
Berita

Kasus Yuyun, Momentum RUU Penghapusan Kekerasan Seksual Masuk Prolegnas

Akan dibahas setelah masa reses untuk dapat masuk dalam Prolegnas prioritas, agar segera dilakukan pembahasan RUU.

Oleh:
RFQ
Bacaan 2 Menit
Foto: RES
Foto: RES
Belum juga rampung penanganan kasus kekerasan seksual terhadap Yuyun, kejadian sama dialami gadis asal Manado. Hal itu terungkap setelah Deputi Perlindungan Hak Perempuan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak melkukan jumpa pers beberapa waktu lalu. Laporan yang telah dilayangkan sejak Januari 2016 berjalan lamban oleh pihak kepolisian. Penanganan cepat disertai aturan khusus menjadi keharusan di saat UU yang ada belum maksimal.

Desakan agar adanya aturan bersifat khusus berupa Rancangan Undang-Undang (RUU) Penghapusan Kekerasan Seksual datang dari Kaukus Perempuan Parlemen (KPP) Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (FPDIP). Ketua Presidium KPP FPDIP, Dwi Ria Latifa, berpandangan kebutuhan atas situasi darurat terhadap naiknya frekuensi kejahatan seksual yang menimpa anak-anak, remaja dan perempuan Indonesia tak terelakkan.

“Kami mendesak RUU Penghapusan Kekerasan Seksual untuk menjadi RUU Prioritas teratas di Prolegnas masa sidang mendatang,” ujarnya melalui keterangan tertulis, Selasa (10/5).

Menurutnya, KPP FDIP sepakat mengorganisir tandatangan seluruh anggota legislatif perempuan lintas fraksi untuk bersama-sama memasukkan usulan RUU tersebut ke pimpinan DPR dan Ketua Baleg ketika sidang pembukaan atau setelah masa reses.  Saat ini, DPR sedang masuk dalam masa reses, sehingga anggota parlemen berada di daerah pemilihan.

Anggota Komisi III itu mengatakan, usulan tersebut bakal diteruskan ke presiden dengan harapan akan mendapat dukungan terhadap RUU inisiatif yang digalang sejumlah legislator. Bila melihat kondisi kekinian, maka RUU tersebut berpeluang menjadi priorotas teratas dalam Prolegnas. Hal itu dimungkinkan sebagaimana diatur antara lain dalam Pasal 18 huruf h dan 23ayat (2) UU No.12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan dan Perundang-Undangan.

Pasal 18 huruf h menyatakan, Dalam penyusunan Prolegnas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16, penyusunan daftar Rancangan UndangUndang didasarkan atas: h. aspirasi dan kebutuhan hukum masyarakat”.  

Sedangkan Pasal 23 ayat (2) menyatakan,”Dalam keadaan tertentu, DPR atau Presiden dapat mengajukan Rancangan Undang-Undang di luar Prolegnas mencakup: a. untuk mengatasi keadaan luar biasa, keadaan konflik, atau bencana alam; dan b. keadaan tertentu lainnya yang memastikan adanya urgensi nasional atas suatu Rancangan Undang-Undang yang dapat disetujui bersama oleh alat kelengkapan DPR yang khusus menangani bidang legislasi dan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum.

Anggota KPP FPDIP Karolin Margaret Natasa menambahkan, akan mengajak seluruh elemen masyarakat memberikan masukan dalam penyempurnaan naskah akademik RUU tersebut. Ia berharap inisiatif tersebut segera terwujud sebagai langkah kongkrit atas kejahatan kian tahun mengalami peningkatan belakangan terkahir.

Anggota Komisi IX itu pun meminta langkah cepat dan konkrit dari Kementerian Pembedayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) beserta penegak hukum dalam penanganan berbagai kasus. Tak hanya itu, Kementerian PPPA dan penegakan hukum mesti segera merumuskan mekanisme pencegahan dan penindakan sebelum terbitnya RUU Penghapusan Kekerasan Seksual.

Menanggapi KPP FPDIP, Wakil Ketua DPR Agus Hermanto mengatakan memang aturan yang ada belu mampu memberikan sanksi berat terhadap pelaku. Oleh sebab itulah, menjadi pekerjaan rumah pemerintah dan DPR agar UU peraturan perundangan yang ada dilakukan revisi.

“Ataupun bisa disesuaikan dengan hal-hal yang terjadi saat ini.  Karena kita ketahui bahwa pelecehan seksual kepada anak-anak di bawah umur itu merupakan perbuatan yang jelas biadab,” ujarnya.

Politisi Partai Demokrat itu itu berpandangan kejahatan kekerasan seksual terhadap anak dikategorikan extraordinary crime. Oleh sebab itulah dibutuhkan aturan khusus dengan sanksi hukuman berat, agar dapat memberikan efek jera.  Pria biasa disapa Aher itu mengaku sependapat agar adanya UU khusus seperti RUU Penghapusan Kekerasan Seksual.

“Itu nanti setelah masa reses selesai, ini merupakan agenda yang akan dibahas dan tentunya bisa dimasukan ke dalam Prolegnas prioritas 2016. Sehingga bisa dibahas secepat mungkin,” pungkasnya.

Tags:

Berita Terkait