Kebijakan Ketenagakerjaan Pengaruhi Kesinambungan BPJS
Berita

Kebijakan Ketenagakerjaan Pengaruhi Kesinambungan BPJS

Upah digunakan sebagai dasar untuk menghitung iuran program BPJS.

ADY
Bacaan 2 Menit

Anggota Presidium Komite Aksi Jaminan Sosial (KAJS), Timboel Siregar, mengkritik proses penyusunan aturan pelaksana BPJS Ketenagakerjaan tanpa melibatkan pemangku kepentingan, terutama serikat pekerja. Dalam salah satu rancangan peraturan pelaksana (RPP) itu, khususnya tentang JP, ada ketentuan yang mengatur besaran iuran jumlahnya 8 persen. Dari jumlah iuran itu 5 persen ditanggung pemberi kerja dan 3 persen pekerja.

Timboel menjelaskan dengan iuran 8 persen, pekerja hanya menerima manfaat yang besarannya hanya 21-25 persen dari upah terakhir. Oleh karenanya, besaran iuran JP BPJS Ketenagakerjaan harusnya 15 persen dari upah sebulan yang 10 persen ditanggung pemberi kerja dan sisanya pekerja. “Dengan begitu pekerja akan memperoleh upah pensiun yang layak,” paparnya.

Bagi Timboel, iuran 15 persen itu tidak memberatkan pengusaha karena beban yang ditanggung hanya 10 persen. Apalagi ongkos tenaga kerja di Indonesia tergolong rendah, sekitar 15 persen dari total biaya produksi. Jika pemberi kerja menanggung iuran 10 persen untuk JP, 3,7 persen JHT, 0,3 persen Jaminan Kematian dan 0,24-1,74 persen Jaminan Kecelakaan Kerja maka total iuran Jaminan Sosial yang dikeluarkan dalam satu bulan hanya sekitar 15 persen dari upah pekerja.

Kemudian, dengan iuran JP sebesar 10 persen yang ditanggung, maka pengusaha akan terbantu saat pekerja masuk masa pensiun. Sebab iuran JP akan dibandingkan dengan kompensasi pemutusan hubungan kerja (PHK) karena pensiun yang besarnya dua kali pesangon. Kalau pengusaha hanya menanggung iuran JP BPJS Ketenagakerjaan sebesar 5 persen maka total manfaat pensiun yang nanti diterima pekerja akan kurang dari perhitungan dua kali pesangon. Sehingga, pemberi kerja harus membayar kekurangan tersebut. “Pengusaha tidak diberatkan dengan mengiur JP BPJS Ketenagakerjaan 10 persen, tapi malah diuntungkan di masa depan,” urainya.

Direktur Harmonisasi Ditjen PP Kementerian Hukum dan HAM, Nasrudin, mengatakan belasan peraturan pelaksana BPJS sebagaimana diamanatkan UU SJSN dan BPJS sedang diharmonisasi. Ditargetkan pekan depan sejumlah peraturan teknis selesai diharmonisasi dan siap disahkan. Mengacu kedua UU itu, seharusnya peraturan pelaksana BPJS, terutama Kesehatan sudah selesai pada November tahun lalu dan ketenagakerjaan pada bulan ini.  “Amanat UU, semua peraturan pelaksana BPJS itu harus diselesaikan 23 November 2013,” tandas Nasrudin.

Nasrudin mengatakan pembahasan iuran dilakukan secara cermat. Sebab, program JP berlaku untuk jangka panjang dan bersinggungan dengan APBN. Oleh karenanya, Kemenkeu meminta agar pembahasan RPP tentang JP dilakukan secara cermat dan teliti. Tak ketinggalan, dalam mengharmonisasi bermacam RPP pemerintah butuh masukan dari pemangku kepentingan. “Dalam membuat peraturan itu harus transparan dan melibatkan stakeholder karena mereka yang bakal terkena aturan itu,” pungkasnya.

Tags:

Berita Terkait