Kenaikan Premi BPJS Kesehatan Dianggap Tidak Tepat Atasi Persoalan Defisit
Berita

Kenaikan Premi BPJS Kesehatan Dianggap Tidak Tepat Atasi Persoalan Defisit

Kebijakan rencana kenaikan tarif ini tidak akan menyelesaikan masalah karena faktanya penyesuaian tarif BPJS Kesehatan awalnya diatur, namun masalah defisit masih kronis.

Oleh:
Mochamad Januar Rizki
Bacaan 2 Menit
Foto: RES
Foto: RES

Wacana pemerintah menaikan premi atau iuran BPJS Kesehatan mendapat sorotan dari berbagai kalangan. Kenaikan tersebut dianggap tidak tepat dengan alasan mengatasi persoalan defisit lembaga tersebut. Salah satu kritik rencana pemerintah tersebut disampaikan Komunitas Peduli BPJS Kesehatan. 

 

Juru Bicara Komunitas Peduli BPJS Kesehatan, Hema Anggiat Marojahan Simanjuntak, menyayangkan kenaikan iuran tersebut dianggap sebagai solusi untuk memulihkan kondisi keuangan BPJS Kesehatan dari kerugian. Menurutnya, kenaikan tersebut dianggap tidak dapat menyelesaikan permasalahan defisit namun justru memberatkan masyarakat sebagai peserta. 

 

“Seharusnya justru pemerintah harus tetap menaungi BPJS Kesehatan dan semua peserta. Kebijakan rencana kenaikan tarif ini tidak akan menyelesaikan masalah karena faktanya penyesuaian tarif BPJS Kesehatan awalnya diatur, namun masalah defisit masih kronis,” jelas Hema dalam keterangan persnya, Jumat (2/8). 

 

Perlu diketahui, dalam Peraturan Presiden Nomor 12 Tahun 2013 menyatakan tarif BPJS Kesehatan sebesar Rp 59.500 pada kelas I, Rp 42.500 pada kelas II, dan Rp 25.500 pada kelas III. Kemudian naik berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 19 Tahun 2016, Peraturan Presiden Nomor 28 Tahun 2016 dan terakhir Peraturan Presiden Nomor 82 Tahun 2018 yakni besarnya iuran tarif yang ditetapkan menjadi Rp 80.000 pada kelas I, Rp 51.000 pada kelas II, dan Rp 25.500 pada kelas III untuk Pekerja Bukan Penerima Upah (PBPU) dan Bukan Pekerja (BP).  

 

Menurutnya, pemerintah juga perlu mempertimbangkan faktor lain dalam memberi solusi kenaikan tarif seperti pertambahan pengeluaran para peserta atas kenaikan premi sementara pendapatan belum tentu bertambah. Faktor lain, besarnya peserta BPJS yang tidak menggunakan fasilitas ini meskipun rutin dibayar setiap bulan karena memiliki asuransi pribadi dengan tanggungan dan dan perlindungan risiko lebih memadai. 

 

Atas kondisi tersebut, dia menyarankan agar pemerintah mengkaji ulang untuk memberikan solusi yang tidak memberatkan kepada peserta BPJS Kesehatan. Sehingga, dia melanjutkan dana tambahan tersebut seharusnya menjadi prioritas pertama agar tidak menimbulkan kecemasan bagi semua peserta. Dana tambahan juga diharapkan dapat menciptakan ketenangan bagi peserta yang menjalani pengobatan rutin dan bergantung pada BPJS Kesehatan oleh karena kekurangan biaya.  

 

“Harus juga dikaji oleh pemerintah tentang mengelola BPJS Kesehatan dengan menjadikannya menjadi sebuah Badan Hukum baru (Perseroan Terbatas) atau Badan Usaha Milik Negara (BUMN) di mana dana melalui pembayaran premi yang terkumpul dapat dikelola dengan lebih baik dan dapat berkembang. Dengan begitu, akan meminimalisir masalah-masalah seperti defisit dan lainnya. Kita berpikir, kalau perusahaan-perusahaan asuransi swasta berkembang dengan baik dan pesat bahkan banyak yang menjadi perusahaan raksasa, kenapa tidak dengan BPJS Kesehatan” tambahnya.

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait