Kepala Daerah Berperan Sebagai Mesin Kampanye
Berita

Kepala Daerah Berperan Sebagai Mesin Kampanye

Budaya politik yang berkembang di Indonesia masih terpaku pada ketokohan atau patron.

ADY
Bacaan 2 Menit
Kepala Daerah Berperan Sebagai Mesin Kampanye
Hukumonline
Untuk meraih suara terbanyak dalam pemungutan suara Pemilu Presiden (Pilpres) 2014. Para pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden (capres-cawapres) bersama tim kampanyenya harus menyambangi berbagai penjuru nusantara. Namun, partai politik (parpol) yang ada saat ini dinilai tidak bisa memaksimalkan perannya sebagai mesin kampanye.

Menurut profesor riset P2P LIPI, Indria Samego, ini disebabkan karena parpol terlalu lelah menghadapi Pemilu Legislatif (Pileg) 2014. Selain itu, budaya politik masyarakat Indonesia secara umum masih terpengaruh pada ketokohan atau patron. Sehingga, masyarakat cenderung mengikuti amanat yang diberikan tokoh yang diikutinya seperti kiai dan kepala daerah. “Yang paling efektif sebagai mesin politik untuk berkampanye itu Bupati dan Walikota,” katanya dalam diskusi di Habibie Center Jakarta, Rabu (18/6).

Apalagi parpol yang berkoalisi pada masing-masing pasangan calon dan melakukan kampanye menurut Indria memperjuangkan nasib orang lain yang belum tentu berasal dari parpolnya. Sehingga, tidak ada jaminan jika pasangan calon yang diusung menang, parpol pendukung mendapat jatah kursi di pemerintahan.

Mengacu hal tersebut Indria yakin kepala daerah atau tokoh masyarakat berperan penting sebagai mesin kampanye untuk mendongkrak perolehan suara pasangan calon pada pemungutan suara Pilpres 2014. Misalnya pada masa orde baru, ada pejabat pemerintah yang menyambangi pesantren-pesantren untuk meminta restu politik kiai.

Indria mengingatkan jangan terpaku pada budaya patron dalam berkampanye. Yang digelar saat ini adalah Pemilu langsung, sehingga, masyarakat yang memenuhi syarat sebagai pemilih yang menentukan siapa pasangan calon yang menjadi pilihannya.

Oleh karena itu Indria menyebut penting bagi setiap pasangan calon untuk menyambangi berbagai daerah di penjuru nusantara untuk berkampanye. Sebab, di Indonesia belum ada pola kampanye yang dapat dijadikan acuan yaitu daerah mana yang perlu dikunjungi. Jika di negara maju seperti Amerika Serikat (AS), para capres wajib bertandang ke berbagai negara bagian yang tertua. Sebab, di negara bagian itu yang menjadi cikal bakal terbentuknya AS.

Mengingat pola tersebut tidak ada maka Indria berpendapat kampanye yang dilakukan masing-masing pasangan calon beserta timnya harus mengunjungi bermacam wilayah tidak hanya pulau Jawa. Dengan begitu para calon tidak dicap Jawa sentris. Sekalipun TV berperan sebagai media kampanye tapi Indria melihat masyarakat Indonesia lebih senang jika bertemu langsung dengan para calon. “Masyarakat mau mengenal calon secara langsung,” tuturnya.

Waktu yang disediakan untuk berkampanye cukup singkat yaitu sampai 5 Juli 2014. Oleh karenanya Indria menilai kegiatan utama yang dilakukan pasangan calon dan timnya saat ini adalah berkampanye. Apalagi diprediksi ada 40 persen undecided atau swing voters yaitu pemilih yang belum menentukan pilihannya kepada salah satu pasangan. Mengingat jumlahnya sangat besar maka berpengaruh dalam menentukan siapa pasangan calon yang menjadi pemenang.

Para pemilih yang belum menentukan pilihannya itu menurut Indria bisa masuk kepada pemilih kategori transaksional atau rasional. Tapi ia berharap swing voters didominasi oleh pemilih yang mendasarkan pilihannya pada rasionalitas. Namun, lagi-lagi ia mengingatkan para pasangan calon tidak boleh lengah dengan budaya politik patron yang ada di Indonesia. “Karena sosio kulutral, maka masih ada
(pemilih,-red) yang bergantung atau ikut pemimpin (tokoh),” paparnya.

Pada kesempatan yang sama Ketua tim pemenangan Prabowo Subianto-Hatta Rajasa (Prabowo-Hatta), Viva Yoga Mauladi, mengatakan kompetisi yang ada berlangsung sangat ketat karena hanya terdapat dua pasangan calon. Ia berpendapat ada tiga kategori pemilih. Pertama, pemilih ideologis yaitu para pemilih yang tidak akan berubah pilihannya, tetap setia pada satu pasangan calon.

Kedua, pemilih rasional, yaitu pemilih yang mudah terpengaruh misalnya setelah melihat kualitas dan program yang ditawarkan masing-masing calon. Ketiga, pemilih transaksional, yaitu pemilih yang menentukan pilihannya berdasarkan imbalan yang diterima. Tapi ia berhadap dengan perbaikan kualitas demokrasi maka dapat menghilangkan pemilih yang transaksional. “Perliaku pemilih yang transaksional merusak proses demokrasi,” tandasnya.

Wasekjen partai Nasional Demokrat (Nasdem) sekaligus tim pemenangan Joko Widodo-Jusuf Kalla (Jokowi-JK), Willy Aditya, berpendapat masyarakat bisa melihat calon pemimpin dengan menelusuri rekam jejaknya. Seorang pemimpin tidak hanya berkutat pada visi dan misi serta program yang akan dijalankan. Lebih dari itu, rekam jejak dibutuhkan agar pemilih mengerti apa yang sudah dikerjakan oleh calon pemimpinnya di masa lalu.

Menurut Willy, rekam jejak Jokowi selama ini tidak diragukan lagi karena selama menjadi Walikota dan Gubernur berkontribusi penting membangun demokrasi. Seperti proses relokasi terhadap PKL, Jokowi berdialog dalam waktu yang cukup lama sampai akhirnya para PKL setuju dipindahkan. Menurutnya, dialog adalah inti dari demokrasi sehingga tidak ada batas yang menghalangi antara kekuasaan dan rakyat.

Willy berpendapat dukungan terhadap Jokowi salah satunya terlihat dari spontanitas dan voluntarisme yang muncul dari masyarakat. Sebab, masyarakat membutuhkan pemimpin yang sederhana dan punya rekam jejak yang baik. “Jadi kepemimpinan itu harus konkrit, terbukti dan terukur,” tukasnya.
Tags:

Berita Terkait