Kepastian Hukum dan Transparansi Pemerintah Soal Akuisisi Freeport Dipertanyakan
Utama

Kepastian Hukum dan Transparansi Pemerintah Soal Akuisisi Freeport Dipertanyakan

Isi dalam Head of Agreement tersebut dinilai tidak rinci sehingga berpotensi menimbulkan sengketa.

Oleh:
M Januar Rizki
Bacaan 2 Menit

 

Sementara itu, Direktur Eksekutif Pusat Studi Hukum Energi & Pertambangan (PUSHEP), Bisman Bhaktiar juga menjelaskan bahwa akuisisi FI tersebut sampai saat ini hanya sebatas penandatanganan HoA. Bahkan menurutnya, proses akuisisi ini bisa batal terjadi mengingat keterangan pihak FI melalui siaran persnya menyebutkan HoA yang telah ditandatangani tersebut hanya berisi kesepakatan yang memungkinkan pemerintah untuk memiliki 51% saham PT Freeport Indonesia.

 

“Jadi sementara ini hanya sebatas “kemungkinan” yang bisa jadi mungkin atau bisa juga tidak mungkin untuk memiliki saham 51% tersebut,” katanya.

 

Dia juga menyayangkan pemerintah yang sudah sepakat memberikan perpanjangan operasi Freeport sampai tahun 2041. Seharusnya, menurut Bisman, pemerintah harus menyampaikannya secara transparan isi HoA dan kepastian waktu akuisisi tersebut. “Jangan sampai nanti memiliki 51% saham namun  ada term and condition tertentu sehinga tidak bisa berkuasa mutlak atas Freeport termasuk dalam menentukan direksi dan seluruh kebijakan operasi tambang yang dijalankan,” katanya. 

 

Kemudian, Bisman juga meminta kepada pemerintah untuk mempublikasi kepastian harga dan perhitungan saham Freeport. Dia juga mempertanyakan alasan pemerintah memperhitungkan nilai Freeport hingga tahun 2041 padahal seharusnya cukup sampai 2021. 

 

“Harus diingat, membeli saham itu aksi bisnis yang bisa menguntungkan tetapi bisa juga merugikan keuangan negara. Hal inilah yang harus menjadi perhatian bersama, sehingga sepatutnya pemerintah harus hati-hati dan mempertimbangkan dengan matang rencana pembelian saham Freeport ini,” jelasnya.

 

Aspek kepastian hukum dan transparansi akuisisi saham FI juga menjadi pertanyaan dari Koalisi Masyarakat Sipil, Publish What You Pay (PWYP) Indonesia. Koordinator Nasional PWYP Indonesia, Maryati Abdullah berpandangan langkah penandatanganan HoA ini masih menyisakan banyak pertanyaan untuk didalami seperti metode valuasi/penentuan nilai kepemilikan saham Indonesia pada FI, status HoA, hingga hak pengelolaan tambang oleh Freeport akan berlanjut hingga 2041. 

 

Kemudian, Maryati juga mempertanyakan perubahan status FI nantinya menjadi Izin Usaha Pertambangan Khusus dari sebelumnya Kontrak Karya. Menurutnya, dengan menjadi IUPK, FI bukan hanya harus melepaskan 51% sahamnya untuk dimiliki Indonesia namun juga harus menyepakati klausa kewajiban melakukan pengolahan dan pemurnian di dalam negeri untuk peningkatan nilai tambah dan bersepakat atas ketentuan fiskal serta perpajakan disyaratkan pemerintah. Kemudian, dengan IUPK tersebut FI juga harus bersedia mematuhi segala ketentuan standar lingkungan dan sosial yang berlaku di yurisdiksi Indonesia. “Jika tidak (dipatuhi), maka Pemerintah dapat sewaktu-waktu memberi sanksi bahkan mengakhiri IUPK Freeport,” kata Maryati. 

Tags:

Berita Terkait