Kepesertaan BPJS Kesehatan Penerima Upah Diusulkan Ditunda
Berita

Kepesertaan BPJS Kesehatan Penerima Upah Diusulkan Ditunda

Sampai ada kejelasan pelaksanaan COB.

Oleh:
ADY
Bacaan 2 Menit
Kepesertaan BPJS Kesehatan Penerima Upah Diusulkan Ditunda
Hukumonline
Pelaksanaan program JKN yang diselenggarakan BPJS Kesehatan sejak 1 Januari 2014 sampai sekarang dinilai menghadapi banyak kendala. Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) mendesak pemerintah menunda batas waktu kepesertaan non-PBI (Penerima Bantuan Iuran), terutama peserta penerima upah.

Ketua Umum DPN Apindo, Hariyadi B Sukamdani, mengatakan penundaan itu diperlukan karena BPJS Kesehatan dinilai belum siap menerima peserta baru kategori penerima upah seperti pekerja formal.

Hariyadi mengatakan Perpres No. 111 Tahun 2013 tentang Perubahan Atas Peraturan Presiden No. 12 Tahun 2013 tentang Jaminan Kesehatan mengamanatkan perusahaan menengah dan besar wajib menjadi peserta BPJS Kesehatan pada 1 Januari 2015. Ia mengusulkan batas waktu kepesertaan itu perlu ditunda sampai BPJS Kesehatan siap menerima peserta kategori penerima upah dari perusahaan skala menengah-besar.

“Atau, penundaan itu dilakukan sampai BPJS Kesehatan mampu melaksanakan mekanisme coordination of benefit (COB) secara jelas dan tuntas,” kata Hariyadi dalam jumpa pers di kantor Apindo di Jakarta, Selasa (2/12).

Hariyadi menjelaskan, manfaat jaminan kesehatan yang ada di perusahaan skala menengah-besar biasanya lebih baik daripada yang digelar BPJS Kesehatan. Karena itu, mekanisme COB dibutuhkan agar manfaat yang diterima peserta nanti tidak lebih rendah daripada yang ada sekarang.

Hariyadi melihat hingga kini pelaksanaan COB antara BPJS Kesehatan dengan sejumlah asuransi swasta masih belum jelas. Ketidaksiapan itu dikhawatirkan akan menimbulkan gejolak hubungan industrial di perusahaan. Sebab, tanpa COB manfaat yang diterima para pekerja bakal lebih rendah.

Jika dipaksakan, Hariyadi yakin yang dirugikan adalah pengusaha karena mereka wajib mendaftarkan pekerjanya menjadi peserta BPJS Kesehatan dan membayar premi asuransi kesehatan swasta. Pengusaha membayar dua premi untuk jaminan kesehatan pekerjanya.

Hariyadi berharap lewat mekanisme COB itu pengusaha hanya membayar satu premi. Sehingga, dengan menjadi peserta BPJS Kesehatan manfaat jaminan kesehatan yang diterima pekerja nanti tidak turun. “Tidak jelasnya peraturan COB membuat pengusaha membayar lebih untuk jaminan kesehatan pekerjanya. Bakal bayar premi double yaitu untuk BPJS Kesehatan dan top up,” urainya.

DPN Apindo sudah melayangkan surat resmi kepada Presiden Jokowi agar pemberlakuan kepesertaan BPJS Kesehatan bagi peserta penerima upah ditunda hingga 2017. Atau, sampai ada kejelasan mengenai pelaksanaan COB.

Tim teknis COB BPJS Kesehatan dari Asosiasi Asuransi Umum Indonesia (AAUI) sekaligus Direktur PT Asuransi Sinarmas, Dumasi Marisina Magdalena Samosir, menjelaskan sejak akhir tahun lalu asosiasi asuransi umum dan jiwa sudah membahas COB dengan BPJS Kesehatan. Kemudian April 2014 disepakati rancangan perjanjian kerjasama COB antara perusahaan asuransi swasta dengan BPJS Kesehatan.

Dumasi mencatat ada 30 perusahaan asuransi yang ingin menjalin kerjasama dengan BPJS Kesehatan lewat COB. Tapi, kerjasama itu tertunda karena BPJS Kesehatan mengubah ketentuan COB. Adanya perubahan itu membuat perusahaan asuransi swasta kesulitan. Sebab, ketentuan baru itu membuat COB sekedar pelayanan peserta di fasilitas kesehatan mitra BPJS Kesehatan dan naik kelas perawatan.

“Kalau sebelumnya peserta asuransi (COB) bisa menggunakan fasilitas kesehatan yang bermitra dengan perusahaan asuransi swasta tersebut tapi sekarang wajib mengikuti mekanisme rujukan berjenjang,” paparnya.

Bagi Dumasi, rujukan berjenjang dari fasilitas kesehatan tingkat satu seperti klinik atau puskesmas  ke tingkat lanjut (RS) menyulitkan peserta kategori penerima upah. Terutama yang jabatannya menengah ke atas seperti manager. Sebab, walau sudah mengikuti mekanisme COB, tapi tidak bisa langsung pergi ke RS untuk mendapat pelayanan kesehatan karena harus dirujuk oleh fasilitas kesehatan tingkat pertama terlebih dulu.

Anggota DPP Apindo Banten, Ana Yanti, mengatakan kendala dalam pelaksanaan BPJS Kesehatan di lapangan meliputi pendaftaran sampai sistem pengelolaan kepesertaan. Misalnya, pekerja baru di sebuah perusahaan tidak otomatis bisa didaftarkan langsung oleh perusahaannya menjadi peserta BPJS Kesehatan. Ada masa tunggu lebih dari satu bulan bagi perusahaan untuk mendaftarkan pekerjanya itu.

Begitu pula ketika ada pekerja di sebuah perusahaan yang keluar atau mengundurkan diri. Sistem yang ada di BPJS Kesehatan dinilai belum mampu memutakhirkan data. Ujungnya, walau pekerja itu sudah keluar, tapi BPJS Kesehatan masih menagih perusahaan untuk membayar iuran. “Jadi kalau ada karyawan yang sudah keluar dari perusahaan, maka perusahaan harus tetap membayar premi (iuran) BPJS Kesehatan mantan karyawannya itu,” ungkapnya.

Koordinator Advokasi BPJS Watch, Timboel Siregar, berpendapat keresahan Apindo terhadap pelaksanaan BPJS Kesehatan itu muncul diantaranya akibat ketidakpastian aturan tentang COB. Padahal, COB atau manfaat tambahan sudah diamanatkan pasal 24 dan 27B Perpres No. 111 Tahun 2013.

Keterlambatan direksi BPJS Kesehatan membuat dan menyosialisasikan Juklak dan Juknis COB membuat pemberi kerja dan pekerja tidak mengerti tentang pelaksanaan COB. Guna memperbaiki hal tersebut Timboel mengusulkan agar pemerintah mempercepat sosialisasi Juklak dan Juknis COB. Jika itu tidak segera dibenahi maka dapat mengganggu berjalannya program JKN yang digelar BPJS Kesehatan. “Presiden Jokowi harus memanggil dan menegur direksi BPJS Kesehatan atas masalah COB ini,” pungkasnya.
Tags: