Kerangka Hubungan Konglomerasi Keuangan Dinilai Perlu Pertimbangkan UU PT
Berita

Kerangka Hubungan Konglomerasi Keuangan Dinilai Perlu Pertimbangkan UU PT

Konglomerasi keuangan atau grup usaha merupakan susunan perusahaan induk dan anak dari badan hukum mandiri namun saling terkait erat.

Oleh:
ANT
Bacaan 2 Menit
Gedung OJK. Foto: RES
Gedung OJK. Foto: RES

Pengamat Ekonomi, Aviliani menyarankan, bahwa kerangka hubungan induk dan anak perusahaan di sektor jasa keuangan (konglomerasi keuangan) dalam tata kelola terintegrasi perlu mempertimbangkan UU No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (PT). Menurutnya, konglomerasi keuangan atau grup usaha merupakan susunan perusahaan induk dan anak dari badan hukum mandiri namun saling terkait erat.

Hal ini dibuktikan pada Pasal 1 UU tentang PT yang menyatakan bahwa perseroan terbatas adalah badan hukum yang mengenal prinsip hukum limited liability sebagai perseroan tunggal. "Peraturan perundang-undangan tidak mengatur mengenai grup usaha, sehingga saat ini belum ada pengakuan yuridis terhadap status perusahaan grup," kata Aviliani.

Aviliani juga mempertanyakan sejauh mana perusahaan induk dapat masuk ke dalam perusahaan anak dalam konteks intervensi. "Ini kan UU PT, walaupun kepemilikan di atas 20 persen (oleh induk) tapi sejauh mana bisa masuk ke dalam. Sejauh mana efektif karena dalam UU PT masing-masing punya keleluasaan. Ini juga harus diatur supaya tidak dianggap penyalahgunaan," katanya.

Ketua Perhimpunan Bank-bank Nasional (Perbanas) Sigit Pramono menyatakan bahwa, OJK harus benar-benar mengawasi konglomerasi keuangan. Menurutnya, perlakuan konglomerasi keuangan di Indonesia seharusnya tidak diperbolehkan seperti di negara-negara lain.

"Sengaja atau tidaknya, kelahiran OJK yang memperbolehkan mahzab konglomerasi keuangan ini harus dengan catatan pengawasan yang lebih. Jelas-jelas di negara lain konglomerasi itu dilarang tapi kita malah dilegalkan," ujarnya.

Sigit menuturkan, konglomerasi keuangan pernah dilakukan di negara maju seperti Amerika Serikat (AS), namun akhirnya konglomerasi keuangan ini dilarang oleh pemerintah dan otoritas setempat. Hal itu terjadi karena adanya konglomerasi keuangan yang mengakibatkan persaingan semakin tidak sehat, khususnya pada bank-bank besar yang memiliki bisnis asuransi.

"Mahzab itu pilihan. Kalau di AS mereka dulu pernah mengeluarkan UU, itu dulu bank-bank itu tidak boleh masuk ke asuransi, lalu mereka melonggarkan, lalu dibolehkan dan sekarang tidak diperbolehkan kembali," ucapnya.

Sigit menuturkan, ia sendiri tidak menyetujui adanya konglomerasi keuangan. Ia lebih setuju agar perbankan hanya fokus pada bank saja dan tidak memilih untuk memiliki lini bisnis industri keuangan lainnya seperti asuransi maupun multifinance. "Kalau saya ditanya lebih baik tidak ada konglomerasi keuangan, saya lebih milih bank ya bank saja gak usah mikir-mikir asuransi lagi. Sudahlah bank fokus ke bank saja. Tapi sekali lagi itu hanya pendapat saya dan terserah industri," ujarnya.

Sebelumnya, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) selaku regulator mengeluarkan ketentuan yang mengatur mengenai konglomerasi keuangan di Indonesia yang berkaitan dengan manajemen risiko dan tata kelola terintegrasi.  Terkait hal ini, ada dua POJK yang diterbitkan.

Keduanya adalah POJK No 17/POJK.03/2014 tentang Penerapan Manajemen Risiko Terintegrasi Bagi Konglomerasi Keuangan dan POJK No 18/POJK.03/2014 tentang Penerapan Tata Kelola Terintegrasi Bagi Konglomerasi Keuangan. Kewajiban implementasi kedua POJK tersebut efektif berlaku pada Juni 2015 untuk Bank Buku IV dan Desember 2015 untuk selain Bank Buku IV.

Tags:

Berita Terkait