Keseimbangan Kepentingan dalam Mengungkap Data Pribadi Pasien Covid-19
Fokus

Keseimbangan Kepentingan dalam Mengungkap Data Pribadi Pasien Covid-19

Banyak peraturan yang mewajibkan tenaga kesehatan untuk merahasiakan data pribadi pasien. Namun ada warga yang khawatir terpapar virus jika data pasien tidak dibuka. Komisi Informasi Pusat punya peran penting.

Muhammad Yasin
Bacaan 2 Menit

(Baca juga: Polemik Keterbukaan Informasi Pasien Covid-19 Akibat Regulasi yang Tak Memadai).

Pengecualian informasi pribadi pasien Covid -19 tersebut  berdasarkan Pasal 28 G UUD 1945, Pasal 4 UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, Pasal 15 dan 16 Penjelasan UU No. 12 Tahun 2015 tentang Pengesahan Kovenan Hak Sipil dan Politik, Pasal 17 huruf g dan h, serta Pasal 18 ayat (2) huruf a UU No. 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik. Sifat kerahasiaan itu juga disinggung dalam perundang-undangan lain: UU Praktik Kedokteran, UU Rumah Sakit, UU Kesehatan, dan UU Keperawatan.

Gede mengingatkan ancaman sanksi hukum jika membuka informasi yang dikecualikan tanpa memenuhi syarat. “Pelanggaran atas penggunaan informasi publik bersifat pribadi atau data pribadi ini dapat dikenai sanksi hukum sesuai peraturan perundangan-undangan yang berlaku,” jelasnya kepada hukumonline.

Dijelaskan Gede, informasi pribadi tersebut dapat diakses secara terbatas oleh pemerintah dan dipergunakan selayaknya untuk kepentingan pencegahan dan mitigasi bencana. Penggunaannya harus terukur sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku.

Keseimbangan Kepentingan: Contoh Kasus

Di Indonesia masih sangat jarang sengketa informasi mengenai data pribadi yang berkaitan pasien. Kalaupun ada beberapa putusan yang berkaitan dengan pengecualian dalam pasal 17 huruf h UU No. 14 Tahun 2008, umumnya berkaitan dengan penerimaan CPNS, dan permohonan warkah pertanahan.

Dua contoh berikut mungkin penting dikemukakan. Contoh pertama dimuat dalam dalam buku Freedom of Information: the Law, the Practice, and the Ideal karya Patrick Birkinshaw (2010). Kasus Naomi vs MGN Ltd disebut Birkinshaw sebagai ‘the modern locus classicus’, dimana pengadilan Inggris menyalahkan The Mirror, tabloid yang mempublikasikan informasi detil mengenai perawatan fotomodel itu dari ketergantungan obat-obatan. Tabloid juga menampilkan foto Naomi saat meninggalkan pertemuan konseling di Narcotic Anonymous. Kemenangan Naomi hingga ke House of Lord diraih dengan suara mayoritas karena dua orang hakim menyatakan dissenting opinion. Pengadilan melakukan balanding test, pertama-tama dengan menentukan apakah penggugat punya ‘reasonable expectation of privasi’, lalu menentukan apakah privasi itu sejalan dengan UU Hak Asasi Manusia Uni Eropa. Hakim juga mempertimbangkan dua kepentingan: hak privasi penggugat versus hak kebebasan berekspresi yang dimiliki media. Kasus Naomi ini berkaitan dengan publikasi pelayanan kesehatan yang sedang dijalani seseorang.

Kasus kedua adalah akses media di Amerika Serikat terhadap sertifikat kematian dalam kasus kematian bayi di salah satu rumah sakit diduga akibat kelalaian. Perkara Home News vs Department of Healt ini termuat dalam tulisan Jeffrey L Boles: ‘Documenting Death: Public Access to Givernment Death Records and Attendant Privacy Corners’ (Cornell Journal of Law and Public Policy, 2012). Menurut Boles, akses publik terhadap sertifikat kematian, laporan autopsi mayat, dan jenis dokumen pemerintah lainnya yang berkaitan dengan kematian seringkali menimbulkan pertentangan dua kepentingan: apakah harus mendahulukan kepentingan orang yang sudah meninggal atau mendahulukan kepentingan yang hidup. Dalam beberapa putusan, jelas Boles, privasi seseorang hilang begitu yang bersangkutan meninggal (a person’s privacy right terminates at death). Tetapi pengadilan juga mengakui hak keluarga almarhum untuk menjaga jangan sampai kandungan informasi yang sensitif mengenai orang yang mereka cintai terbuka ke publik (Courts recognize that families of the deceased maintain a privacy interest in preventing the public release of sensitive content concerning their love ones).

Kuncinya adalah bagaimana para pengambil keputusan menjaga keseimbangan kepentingan berdasarkan argumentasi yang kuat. Boles menegaskan mungkin saja setiap yurisdiksi berbeda-beda pandangannya, dan dalam memutusnya tak bisa pukul rata, harus case by case.

Tags:

Berita Terkait