Ketika KUHP ‘Tidak Lahir-Lahir, Tidak Mati-Mati’
Berita

Ketika KUHP ‘Tidak Lahir-Lahir, Tidak Mati-Mati’

Sudah 52 tahun sejak pertama kali dibahas pada tahun 1964, pembahasan RUU KUHP masih panjang.

Oleh:
RIA
Bacaan 2 Menit
Prof. Barda Nawawi Arief (kanan). Foto: MYS
Prof. Barda Nawawi Arief (kanan). Foto: MYS
Dimulai sejak tahun 1964, pembahasan perubahan atas Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) warisan kolonial Belanda, masih belum juga selesai. Lebih dari setengah abad lamanya, Rancangan Undang-Undang (RUU) KUHP tak kunjung mendapat persetujuan. Hingga kini baru Buku I yang mendekati tahap finalisasi di Panitia Kerja DPR.

Sebagai anggota tim penyusun RUU KUHP, Guru Besar Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Diponegoro (FH Undip) Barda Nawawi Arief termasuk yang sering diminta memberikan penjelasan di berbagai tempat. Dari kegiatan mendalami RUU KUHP itulah Prof. Barda menghasilkan puluhan karya tulis. RUU itu dibahas sejak gurunya Prof. Moeljatno hingga Barda menjadi guru besar dan kini sudah banyak ahli pidana yang memanggilnya kakek.

Tidak mengherankan, dalam Simposium Nasional dan Pelatihan Hukum Pidana dan Kriminologi di Banjarmasin, Senin (16/5), Prof Barda secara bergurau menyebut RUU KUHP layaknya bayi dalam kandungan seorang perempuan yang tidak lahir-lahir dan tidak mati-mati. “Janinnya ini sudah terlalu tua,” ujarnya.

Proses penyusunan RUU KUHP sudah melewati masa 13 Menteri Kehakiman (kini Menteri Hukum dan HAM). Barulah pada masa pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan era Presiden Joko Widodo, RUU KUHP diteruskan ke DPR, dan mulai dibahas. “Saya berharap ya semoga dia (RUU KUHP) tidak mati dalam kandungan atau tidak lahir cacat. Karena sampai sekarang, sudah tujuh belas orang (anggota tim penyusun) meninggal, tapi tetap saja dia tidak lahir-lahir. Dia juga tidak mati-mati,” ungkap Prof Barda dalam acara yang digelar oleh Fakultas Hukum Universitas Lambung Mangkurat (FH Unlam) bekerja sama dengan Masyarakat Hukum Pidana dan Kriminologi Indonesia (Mahupiki).

Sebagaimana telah diberitakan juga sebelumnya, dari tujuh belas anggota tim yang meninggal, tujuh di antaranya adalah guru besar hukum Indonesia, antara lain ada (alm) Prof Moeljatno, (alm) Prof Soedarto, (alm) Prof Roeslan Saleh, (alm) Prof Satochid Kartanegara, (alm) Prof Oemar Seno Adji, dan (alm) Prof Andi Zainal Abidin Farid.

Secercah harapan mulai terlihat. Hasil kerja keras puluhan tahun itu mulai tampak. April lalu, Panitia Kerja (Panja) Komisi III Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) telah menyetujui sebagian besar Buku I KUHP. Disebut sebagian besar karena memang masih ada yang di-pending dan diserahkan pembahasanya kepada Tim Perumus (Timus) dan Tim Sinkronisasi (Timsin).

Pasal yang masih belum disetujui oleh Panja adalah Pasal 58 sampai dengan Pasal 61, intinya membahas ketentuan tentang perubahan atau penyesuaian putusan pidana atau tindakan yang sudah berkekuatan hukum tetap.

Panja memberi catatan pada tanggal 28 April 2016 bahwa pasal-pasal ini di-pending dan harus dikaji terlebih dulu terutama mnegenai alasan peringan dan pemberat pidananya. Prof Barda berujar, hal ini bisa jadi disebabkan karena Panja masih kurang memahami rumusan pasal yang dimaksud.

Pembahasan di Timus dan Timsin seharusnya sudah selesai pada 13 Mei lalu. Meskipun belum ada kepastian finalisasi draf Buku I RUU KUHP, Prof Barda mengaku senang karena apa yang telah ditunggu-tunggu selama ini akhirnya akan segera datang.

“Ya walaupun Buku II-nya masih belum, masih terkatung-katung dan cukup ramai juga, saya cukup bergembira bahwa akhirnya perjalanan panjang itu hampir selesai. Alhamdulilah KUHP hampir ‘berojol’,” tutupnya.
Tags:

Berita Terkait