Ketua KHN: Pemilu Buruk, Produk Legislasi Juga Buruk
Dialog Hukum KHN

Ketua KHN: Pemilu Buruk, Produk Legislasi Juga Buruk

Pidana pemilu berulang karena tidak ada efek jera.

Oleh:
RZK
Bacaan 2 Menit
Ketua Perludem Didik Supriyanto (ketiga dari kanan) dan Ketua KHN Prof JE Sahetapy (kedua dari kanan) dalam acara Dialog Hukum KHN, Rabu (30/4). Foto: KHN (Edit: RES)
Ketua Perludem Didik Supriyanto (ketiga dari kanan) dan Ketua KHN Prof JE Sahetapy (kedua dari kanan) dalam acara Dialog Hukum KHN, Rabu (30/4). Foto: KHN (Edit: RES)
Pemungutan suara Pemilu Legislatif 2014 telah rampung dilaksanakan. Berbagai catatan atas pelaksanaan pesta demokrasi lima tahunan itu disuarakan sejumlah kalangan. Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) memberi penilaian positif sekaligus negatif terhadap penyelenggarakan Pemilu Legislatif 2014.

Ketua Perludem Didik Supriyanto mengatakan dari sisi penyelenggaraan, Pemilu Legislatif 2014 sebenarnya berjalan cukup baik. Namun di sisi lain, pelanggaran yang terjadi dalam Pemilu Legislatif 2014 juga masif. Pelanggaran yang dominan terjadi adalah politik uang dan manipulasi suara.  

“Sistem proporsional terbuka ternyata memiliki dampak yang luar biasa terkait money politic, karena persaingan perebutan kursi legislatif juga menjadi sangat luar biasa,” papar Didik dalam acara Dialog Hukum Komisi Hukum Nasional (KHN) bekerjasama dengan KBR68H dengan tema “Menakar Penindakan Pidana Pemilu 2014”, Rabu (30/4).

Secara khusus, Didik menyoroti kasus manipulasi atau pencurian suara yang belakangan marak terjadi. Uniknya, kata dia, kasus manipulasi suara justru terjadi antar calon legislatif (caleg) yang bernaung di partai politik yang sama. Biasanya, modus manipulasi suara melibatkan saksi atau petugas penyelenggara pemilu.

Ketua KHN Prof. JE Sahetapy menyayangkan Pemilu Legislatif 2014 berjalan dengan diwarnai banyak pelanggaran. Menurut Sahetapy, pelanggaran-pelanggaran yang terjadi dalam pemilu menandakan bahwa partai politik belum menjalankan perannya dalam memberikan pendidikan demokrasi kepada kadernya dan masyarakat sebagai pemegang hak pilih.

“Lihat saja, kampanye (kemarin) yang hanya diisi dengan aksi joget-jogetan, menampilkan penyanyi-penyanyi berpenampilan seronok sehingga masyarakat tidak terdidik,” ujar Sahetapy.

Sahetapy khawatir pemilu yang kotor atau bahkan jorok akan memunculkan anggota-anggota legislatif yang tidak berkualitas. Dampak lanjutannya, kinerja para anggota dewan juga akan buruk. Misalnya, dalam hal membuat undang-undang. Anggota legislatif produk dari penyelenggaraan pemilu yang buruk hanya akan menghasilkan undang-undang yang buruk juga.

“Kalau pemilu kotor, siapa yang bertanggungjawab? Seharusnya ya presiden sebagai kepala pemerintahan maupun kepala negara,” kata Sahetapy.

Upaya Penindakan
Dia berpendapat penindakan kasus-kasus pidana pemilu harus dilakukan dengan prosedur hukum yang khusus. Sahetapy mengusulkan agar penyelesaian kasus-kasus pidana pemilu melalui pengadilan dengan acara pemeriksaan singkat seperti kasus-kasus tilang. Tujuannya, agar kasus-kasus pidana pemilu tidak mengendap, tak terselesaikan.

“Kalau menggunakan prosedur Rule of Law normal tidak akan selesai, ujung-ujungnya yang disalahkan pihak kepolisian,” ujar Sahetapy.

Didik Supriyanto mengatakan pidana pemilu masih marak terjadi di Pemilu 2014 ini karena kasus-kasus pada pemilu sebelumnya banyak yang tidak terselesaikan. Pada Pemilu 2009, misalnya, Didik mencatat sejumlah kasus pidana pemilu yang melibatkan penyelenggara pemilu proses hukumnya tidak jelas sehingga tidak memberikan efek jera.

Turut berpartisipasi dalam acara Diskusi Hukum KHN melalui telepon, Anggota Bawaslu Nelson Simanjuntak sependapat dengan Didik. Menurut dia, ketiadaan efek jera menyebabkan tindak pidana pemilu tetap marak terjadi di setiap perhelatan pemilu. Solusinya, kata Nelson, adalah perubahan peraturan perundang-undangan.

“Perlu ada perubahan norma, tidak hanya hukum pidana, tetapi juga sistem pemilu, karena semuanya saling berkaitan,” ujar Nelson.
Tags:

Berita Terkait