Ketua MA, Dari Kusumah Atmadja Hingga Harifin A. Tumpa
Berita

Ketua MA, Dari Kusumah Atmadja Hingga Harifin A. Tumpa

Mulai dari intervensi eksekutif sampai keterlibatan lembaga donor internasional.

IHW/Ali
Bacaan 2 Menit

 

Majalah Tempo sempat menurunkan tulisan yang menceritakan bagaimana kewibawaan MA di masa Kusumah Atmadja. Ceritanya memang ‘sepele'. Berawal dari satu kesempatan jamuan makan malam, Kusumah Atmadja sempat mengeluarkan kata-kata pedas ketika Soekarno yang datang terlambat, tak mau duduk di sampingnya. Setelah puas, Kusumah Atmadja ngeloyor pergi.

 

Masih di tulisan yang sama, Benjamin Mangkoedilaga yang juga mantan hakim agung, memahami sikap Kusumah Atmadja. Ya, Mahkamah Agung kan yang mengangkat sumpah seorang presiden. Wajar kalau dia ditempatkan lebih tinggi dan dihormati, kata Benjamin. Intinya, Kusumah Atmadja tak mau MA diposisikan lebih rendah dari Presiden.

 

Kepemimpinan Kusumah Atmadja berakhir pada 1952 karena meninggal dunia. Praktik pemilihan Ketua MA selanjutnya seolah menegasikan prinsip hidup Kusumah Atmadja. Pasalnya, saat itu pemilihan Ketua MA dilakukan berdasarkan ‘kompromi' eksekutif dan legislatif. DPR mencalonkan beberapa nama, presiden yang memilih dan mengangkatnya. Nah, pada masa itu seolah yudikatif berada di bawah ketiak eksekutif dan legislatif.

 

Wirjono Prodjodikoro menjadi Ketua MA periode 1952-1966. Ia dipilih dan diangkat Presiden setelah sebelumnya dicalonkan DPR. Pada masa ini, posisi subordinasi MA dengan pemerintah terlihat jelas. Buktinya, Ketua MA masuk ke dalam kabinet Dwikora I (Agustus 1964-Februari 1966). Saat itu, Wirjono diberi jabatan Menteri Koordinator untuk Kompartimen Hukum dan Dalam Negeri.

 

Pada masa kepemimpinan Wirjono lahir UU No 19 Tahun 1964 tentang Kekuasaan Kehakiman. Undang-undang ini semakin menegaskan posisi subordinasi MA dengan pemerintah. Pasal 19 UU itu merumuskan, Demi kepentingan revolusi, kehormatan Negara dan Bangsa atau kepentingan masyarakat yang sangat mendesak, Presiden dapat turut atau campur-tangan dalam soal-soal pengadilan.

 

Meski berada di bawah kempitan eksekutif dan legislatif, Ketua MA di masa Orde Lama dikenal sebagai orang yang terbebas dari korupsi. Hal ini berlangsung sampai 1970-an. Demikian pandangan Sebastiaan Pompe, peneliti Belanda yang tertuang dalam bukunya The Indonesian Supreme Court : A Study of Institusional Collapse.

 

Wirjono, kata Pompe, lebih memilih menyewakan mobil dinasnya sebagai taksi. Boleh jadi itu dilakukan untuk mendapat penghasilan tambahan yang halal. Maklum, kala itu kabarnya gaji hakim terbilang kecil.

Halaman Selanjutnya:
Tags: