Ketua MK: UU Tanpa Pengesahan Presiden Dapat Dibatalkan
Mahkamah Konstitusi

Ketua MK: UU Tanpa Pengesahan Presiden Dapat Dibatalkan

Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Prof. Jimly Asshidiqie menyatakan bahwa UU yang diundangkan tanpa adanya pengesahan atau tanda tangan dari presiden dapat diajukan pembatalannya ke MK. Ia menilai bahwa UU yang diundangkan tanpa pengesahan presiden, telah menyalahi proses pembuatan.

Amr
Bacaan 2 Menit
Ketua MK: UU Tanpa Pengesahan Presiden Dapat Dibatalkan
Hukumonline
Jimly mengatakan MK dalam menguji UU tidak hanya meninjau dari segi hukum materiil, namun juga hukum formilnya. Menurut Jimly, setiap UU yang proses pembuatannya tidak sesuai dengan hukum dapat diajukan pembatalannya ke MK. Termasuk dalam kategori UU yang menyalahi hukum formil adalah UU yang diundangkan tanpa pengesahan atau tanda tangan dari presiden.

"Jadi, bisa dituntut pembatalannya ke Mahkamah Konstitusi. Undang-undang itu kan bisa diuji secara materiil dan bisa diuji secara formil. Secara formil, itu menyangkut proses. Jadi, secara formil tidak tepat," kata Jimly. Namun, selama MK belum membatalkan UU tersebut, maka UU yang bersangkutan masih memiliki kekuatan mengikat.

Kewenangan MK yang mencakup pengujian dari segi formil pembuatan UU, diatur dalam pasal 56 ayat (4) UU No.24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi. Pasal itu bunyinya kurang lebih, dalam hal pembentukan UU dimaksud tidak memenuhi ketentuan pembentukan undang-undang berdasarkan UUD 1945, amar putusan menyatakan permohonan dikabulkan.

Penting pula untuk diketahui bahwa Pasal 20 ayat (5) UUD 1945 menyebutkan bahwa dalam hal RUU yang telah disetujui bersama (DPR dan presiden) tersebut tidak disahkan Presiden dalam waktu 30 hari semenjak RUU tersebut disetujui, RUU tersebut sah menjadi UU dan wajib diundangkan.

Kop Presiden

Secara terpisah, pakar hukum administrasi negara FHUI Prof. Arifin Soeria Atmadja mengatakan bahwa UU yang diundangkan tanpa pengesahan Presiden tidak dapat dibenarkan dari sisi HAN. Secara khusus, ia mengomentari UU No.17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara yang ia nilai asal jadi baik dari segi substansi maupun formalitasnya.

"Ini kita lihat dari substansi dan prosedur pembuatannya di mana UU ini tidak ditandatangani oleh presiden. Sedangkan, naskah UU itu dimuat dengan kop Presiden. Dari sisi hukum administrasi negara, ini tidak benar. Bagaimana suatu UU yang tidak ditandatangani oleh Presiden dimuat dalam kop Presiden?" ucapnya saat pengukuhan gelar doktor bidang hukum kepada Ronny S.H. Bako di Depok.

Selain UU Keuangan Negara, terdapat sejumlah UU lainnya yang diundangkan tanpa pengesahan Presiden Megawati Soekarnoputri. Sebut saja, UU No.25/2002 tentang Kepulauan Riau, UU No.32/2002 tentang Penyiaran, serta UU No.18/2003 tentang Advokat. RUU Penyiaran sendiri saat ini telah dimintakan judicial review ke MK oleh Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI).

Sebuah UU yang diundangkan tanpa pengesahan presiden, menurut Jimly, bukan saja tidak dibenarkan dari ilmu hukum tata negara maupun hukum administrasi negara, tetapi juga tidak sesuai dengan UUD 1945.

"Dasar pengesahan itu kalau sudah ditandatangani oleh Presiden. Presiden tanda tangan, baru atas dasar itu diperintahkan diadakan pengundangan. Undang-Undang Dasar memerintahkan pengundangan itu wajib. Jadi, dasar pengundangan itu tanda tangan presiden atau pengesahan Presiden," jelas Jimly kepada hukumonline.

Dengan kata lain, Guru Besar Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia ini memandang bahwa pengesahan dan pengundangan sebuah UU oleh Presiden adalah dua perbuatan hukum yang terpisah. Oleh karena itu, menurut Jimly, setiap UU yang proses pembuatannya menyalahi UUD dapat dimintakan pembatalannya ke MK.

Tags: