Kisah Japin dalam Penegakan Hukum Perkebunan
Berita

Kisah Japin dalam Penegakan Hukum Perkebunan

Seorang kepala adat berjuang bertahun-tahun lewat pengadilan dan Mahkamah Konstitusi untuk memperjuangkan tanah ulayat.

Muhammad Yasin
Bacaan 2 Menit
Kasus yang menimpa Japin (memakai kaos) merupakan pelajaran penting dalam mengatasi konlik warga dengan perusahaan. Kriminalisasi warga tak akan menyelesaikan masalah secara tuntas. Foto: MYS
Kasus yang menimpa Japin (memakai kaos) merupakan pelajaran penting dalam mengatasi konlik warga dengan perusahaan. Kriminalisasi warga tak akan menyelesaikan masalah secara tuntas. Foto: MYS

Selama beberapa hari ke depan digelar pertemuan mulipihak dalam Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO) di Denpasar Bali. Mengambil tema inclusivity and accountability, perhelatan ini akan membahas banyak hal mulai dari masalah ketenagakerjaan di perkebunan dan penggunaan dana CSR hingga penyelesaian konflik perkebunan dengan masyarakat setempat. Pertemuan melibatkan para pihak mulai dari pengusaha, aktivis organisasi masyarakat sipil, pengambil kebijakan, hingga akademisi.

Di bagian lain, sebuah perhelatan penting juga digelar: mendengarkan kisah Japin sekaligus pemutaran film advokasi dan foto-foto yang memperlihatkan ekses perkebunan kepala sawit di Kalimantan Barat dan Nabire, Papua. Sawit adalah komoditas penting bagi Indonesia, dan kini menjadi salah satu primadona. Sekitar 15 juta hektare lahan perkebunan sawit dibuka tersebar di 22 provinsi. Luasnya dari tahun ke tahun terus meningkat, dan tak kurang dari 35 juta ton crude palm oil dihasilkan dari perkebunan tersebut. Sawit menjadi andalan pendapatan nasional dan devisi negara.

Tetapi, seperti yang diperlihatkan Japin, pembukaan dan pengembangan perkebunan kelapa sawit tak jarang menimbulkan konflik yang berujung penyelesaian di meja hukum. Kadang, jalan yang harus dilalui untuk menyelesaikan masalah itu laksana jalan terjal di perkebunan. Apa yang dialami Japin mungkin bisa dijadikan contoh.

(Baca juga: Yuk, Selamatkan Perusahaan Anda dari Jerat Pidana Korporasi).

Japin adalah Kepala Adat Kampung Silat Hulu, Kalimantan Barat, yang mempersoalkan kedatangan perusahaan perkebunan ke daerahnya. Japin tergerak untuk menahan alat berat yang dipakai perusahaan dan menggelar peradilan adat kepada orang yang merusak apa yang disebut Japin sebagai tanah ulayat atau tanah adat masyarakat Silat Hulu. Tindakan itu mengantarkan Japin ke balik jeruji besi. Ia merasa dikriminalisasi. “Tiga puluh kali saya mengikuti sidang,” ujarnya di hadapan puluhan peserta.

Semangat pantang menyerah masih terus ditunjukkan Japin di Bali, Senin (27/11). Nada suaranya kadang meninggi manakala mengingat perjuangannya mempertahankan lahan yang dia sebut sebagai tanah ulayat. Pembukaan lahan perkebunan sawit telah menyebabkan sebagian rakyat terusir dari tanah yang mereka warisi dari keturunan demi keturunan. “Itu penindasan terhadap rakyat,” suaranya meninggi.

Meskipun dikriminalisasi, Japin tetap berusaha memperjuangkan hak-hak hukumnya. Ia mengikuti upaya banding, kasasi, dan peninjauan kembali. Di tingkat pertama mereka masing-masing dihukum satu tahun penjara  karena terbukti secara sah dan meyakinkan dengan sengaja melakukan tindak pidana turut serta melakukan tindakan yang mengakibatkan terganggunya usaha perkebunan.

Bahkan ia bersama tiga petani lain (Vitalis Andi, Sakri, dan Ngatimin), Japin mengajukan judicial review UU No. 18 Tahun 2004 tentang Perkebunan ke Mahkamah Konstitusi. Mereka mempersoalkan Pasal 21 dan Pasal 47 UU Perkebunan karena dianggap sebagai pemicu terjadinya kriminalisasi terhadap mereka yang menolak kehadiran perkebunan.

Pada September 2011, Mahkamah Konstitusi –kala itu dipimpin Moh. Mahfud MD—mengabulkan permohonan Japin dan kawan-kawan. Mahkamah menilai unsur-unsur dalam Pasal 21 UU Perkebunan yang berbunyi ‘dilarang melakukan tindakan yang berakibat pada kerusakan kebun dan/atau aset lainnya’ adalah rumusan yang terlalu luas dan tidak memberikan batasan yang jelas. Akibatnya bisa menimbulkan ketidakpastian hukum.

Demikian pula, frasa ‘penggunaan tanah perkebunan tanpa izin’ yang sanksinya diatur dalam Pasal 47 ayat (2) UU Perkebunan. Mahkamah berpendapat penetapan sanksi tidak bisa diseragamkan melainkan harus dilihat dulu kasusnya: kapan lahan itu diperoleh, apakah tanah yang diduduki merupakan tanah adat atau bukan, dan apakah pendudukan tanah karena keadaan darurat sudah diizinkan penguasa atau belum.

Mahkamah juga menegaskan kasus-kasus konflik perkebunan yang terjadi sangat mungkin disebabkan tidak adanya batas yang yang jelas antara wilayah hak ulayat dan hak individual berdasarkan hukum adat dengan hak-hak baru yang diberikan oleh negara berdasarkan ketentuan perundang-undangan.

(Baca juga: Pasal-Pasal Merugikan Petani Dibatalkan MK).

Judianto Simanjuntak, pengacara Japin pada tahap peninjauan kembali, bercerita di forum yang sama, permohonan PK yang mereka ajukan menggunakan putusan Mahkamah Konstitusi sebagai ‘amunisi’. “Dan akhirnya permohonan PK dikabulkan,” ujarnya.

Berdasarkan penelusuran hukumonline, majelis hakim yang memutus perkara PK tersebut mengakui putusan MK sebagai novum, dan menyatakan majelis judex juris memutus perkara berdasarkan berdasarkan aturan yang sudah dibatalkan Mahkamah Konstitusi. Majelis kasasi memutus  menolak permohonan kasasi Japin dkk pada 21 Juni 2012. Padahal MK sudah memutuskan pasal 21  jo Pasal 47 ayat (1) UU Perkebunan bertentangan dengan konstitusi pada 9 September 2011.

Peneliti Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (Elsam), Andi Muttaqien menyebut putusan PK itu sebagai kemenangan judicial korban, sekaligus pembelajaran bagi pengacara publik dalam mengadvokasi dan membela para korban konflik perkebunan sawit dengan warga. Namun yang lebih terpenting adalah bagaimana menyelesaikan konflik warga dengan perkebunan secara baik-baik.

Kasus Japin termasuk salah satu yang mendapat perhatian komunitas internasional dalam kaitan antara bisnis dan hak asasi manusia. Persoalannya masih terus dirundingkan antara masyarakat dengan perusahaan. Perusahaan bersedia mengembalikan jika bisa diverifikasi bahwa tanah yang diklaim adalah tanah adat dan bisa diverifikasi batas-batasnya dalam peta yang dibuat.

Kisah Japin merefleksikan apa yang diputar dalam video berdurasi 12 menit itu, sebuah jalan terjal yang tetap harus diiringi asa ketika melewatinya.

Tags:

Berita Terkait