Kisah Kawin Beda Agama, Menantang Arus dan Problematik Klasik
Feature

Kisah Kawin Beda Agama, Menantang Arus dan Problematik Klasik

Memilih jalan yang dinilai tak lazim bagi sebagian manusia memang harus melewati berbagai tantangan dan masalah. Mungkin itu yang dirasakan oleh para pelaku kawin beda agama. Meski UU Perkawinan tidak melarang maupun mengatur perkawinan beda agama secara spesifik atau khusus, namun narasi kawin beda agama dilarang di Indonesia membuat praktik perkawinan beda agama sulit untuk dilakukan.

Fitri Novia Heriani
Bacaan 8 Menit
Kisah Kawin Beda Agama, Menantang Arus dan Problematik Klasik
Hukumonline

Cinta tak pernah tahu kapan dan kepada siapa dia akan berlabuh. Cinta juga menyatukan perbedaan, entah antara kulit hitam dan kulit putih, si kaya dan si miskin, hingga perbedaan keyakinan. Tak sedikit pula pasangan ini akhirnya bisa meresmikan hubungan mereka hingga ke pelaminan.

Jika cinta sudah melekat bak amplop dan perangko, perbedaan pun tak lagi menjadi halangan, sekalipun dengan keyakinan yang saling bertentangan. Buktinya, beberapa pasangan berbeda agama tetap nekad mengukuhkan cinta mereka dalam sebuah ikatan perkawinan kendati harus melewati jalan kerikil dan berliku.

Sejatinya, Indonesia tidak mengatur perkawinan beda agama. Dalam UU No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan sendiri, disebutkan bahwa perkawinan sah apabila dilakukan dengan masing-masing agama atau kepercayaannya. Tetapi berpijak dari Hak Asasi Manusia (HAM) dan juga cara pandang yang berbeda dari masing-masing pribadi dalam menilai Tuhan dan agamanya, maka perkawinan beda agama nyatanya tetap mereka lakukan dengan berbagai cara.

“Agama itu ya agama, cuma ketika kita mau menikah pun, kalau mau secara sipil, ya seharusnya tidak masalah,” kata seorang pelaku perkawinan beda agama, sebut saja Jonathan (nama disamarkan).

Baca Juga:

Jonathan mengisahkan, tak mudah baginya untuk mencapai titik ini. Terutama di Indonesia, di mana hukum mengatur bahwa perkawinan harus dilakukan sesuai agama dan keyakinan masing-masing. Merasa mendapatkan pasangan yang cocok, Jonathan merasa yakin untuk menempuh jalan terjal demi memperjuangkan jodohnya. Maka dengan berbagai pertimbangan, dirinya melangsungkan perkawinan secara sipil di Singapura.

Dia tak menampik bahwa perkawinan beda agama bisa diselenggarakan di Indonesia. Bahkan sebelum memutuskan untuk menikahi sang kekasih di negeri Singa pada 2018 silam, Jonathan sudah melakukan riset terkait lokasi di mana perkawinan beda agama antara Kristen dan Islam bisa dilakukan, beberapa di antaranya di Salatiga dan Bali. Hanya saja, rumitnya urusan administrasi perkawinan beda agama yang diselenggarakan di Indonesia membulatkan tekadnya untuk menggunakan hukum Singapura.

Jonathan menyebut perkawinan beda agama di Singapura membutuhkan dokumen yang sama layaknya perkawinan seagama yang diselenggarakan di Indonesia, di mana harus menyiapkan dokumen-dokumen dari RT, RW dan sebagainya. Lalu berkas tersebut didaftarkan di sebuah lembaga bernama Registry of Marriage (ROM). Saat prosesi perkawinan yang diselenggarakan di ROM, harus menyertakan saksi dari kedua belah pihak. Adapun tata cara perkawinan dilakukan dengan membaca sumpah dalam bahasa Inggris, yang dilakukan sebanyak dua kali, yakni sumpah terkait keaslian berkas dan sumpah perkawinan.

Hukumonline.com

Sertifikat nikah di ROM Singapura. Foto: Dok Pribadi.

“Dari yang saya baca, setelah menikah beda agama harus didaftarkan di Dukcapil, kalau Dukcapil menolak mendaftarkan harus ke pengadilan. Karena nggak mau ribet, akhirnya ke Singapura, pakai hukum Singapura. Hanya saja biayanya cukup besar kalau menikah di Singapura. Saya waktu itu total habis sekitar Rp50 juta. Karena di Singapura ada kewajiban salah satu pasangan harus staycation selama dua puluh hari di Singapura sebelum nikah. Ya, habis untuk penginapan dan tiket pesawat,” tutur pria bergelar Sarjana Hukum dari Universitas Kristen Satya Wacana, Salatiga, ini.

Setelah mengantongi sertifikat perkawinan secara sipil dari otoritas Singapura, Jonathan menuju ke Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil (Dukcapil) sesuai domisili KTP untuk mencatatkan perkawinannya. Syukurnya, tak ada aral melintang. Hingga saat ini, sertifikat perkawinan tersebut kerap digunakan untuk mengurus segala urusan administrasi termasuk pencatatan akta kelahiran buah hatinya.

Pun demikian, bagian paling menegangkan dari perjalanan menuju perkawinan adalah restu dari pihak keluarga, terutama keluarga istri yang menganut agama Islam. Lahir dari keluarga yang taat, rencana perkawinan beda agama sempat ditentang oleh keluarga sang kekasih. Sementara Jonathan yang lahir dan besar dari agama Kristen Protestan, lebih terbuka dalam menerima perbedaan agama. Bahkan penolakan itu membuat hubungan keduanya menjadi renggang hingga sempat putus nyambung.

Dalam kondisi ini, Jonathan mengakui bahwa mental adalah sisi paling penting rentan untuk digoyahkan. Dia mengatakan dalam momen tersebut, dirinya terus berkonsultasi dengan pemuka agama Kristen Protestan untuk meminta masukan dan nasihat atas rencana perkawinannya. Begitu pula sebaliknya, sang istri mencari nasihat kepada pemuka agama Islam. Selama satu tahun berjuang demi sebuah restu, lampu hijau pun akhirnya datang dari pihak keluarga sang istri dengan beberapa catatan, salah satunya terkait pola asuh anak.

“Saat itu saya bilang ke istri, saya janjiin kalau anak ikut istri. Ya, meskipun di awal-awal pernikahan saya sempat ditagih kapan pindah (ke Islam), tapi saya jawab iya, nanti aja. Karena jangan sampai pindah agama karena nikah, pindah agama itu ya hidayah,” tutur pria yang kini bekerja di salah satu institusi penegak hukum ini.

Kisah serupa juga dituturkan oleh SW dan CL. Pasangan yang menikah sepuluh tahun silam ini mengaku nyaman dengan perbedaan keyakinan dalam rumah tangganya. Rasa nyaman, saling melengkapi, dan personality yang baik dari pasangan membuat keduanya siap menantang arus. Ibarat berjalan melawan arah angin, untuk mencapai tujuan tentulah membutuhkan effort yang lebih besar.

“Tapi ya memang nggak mudah. Pacaran empat tahun, semakin lama semakin kenal lebih dekat dan kita mengedepankan personalnya. Memang udah cocok gitu jadi akhirnya yang lainnya harus menyesuaikan,” tutur SW dalam sesi wawancara bersama Hukumonline.

Seperti banyak terjadi pada perkawinan beda agama, CL yang lahir dan besar di keluarga muslim, mendapatkan perlawanan dari keluarga saat dia mengutarakan niatnya itu. Namun seiring berjalannya waktu, kedua orang tua akhirnya memberikan restu. Hal ini tentu sangat bertolak belakang dengan SW yang beragama Katolik, di mana perbedaan keyakinan merupakan hal yang biasa terjadi dalam keluarga besarnya.

Pada 2013 keduanya memutuskan untuk melangsungkan perkawinan di Indonesia, tepatnya di sebuah gereja Katolik di Jakarta. Lewat sebuah pencarian panjang, SW menemukan sebuah gereja dan juga pastor yang bisa menikahkan pasangan beda agama. Tak banyak rintangan yang mereka temukan, prosesi pemberkatan dilakukan tanpa sakramen sehingga perkawinan keduanya sah secara Katolik. Rupanya perkawinan tak hanya digelar secara Katolik. SW dan CL juga menggelar perkawinan secara Islam bersama yang dipandu oleh seorang ustadz. Perkawinan dilakukan secara siri.

Namun keduanya menemui kendala saat ingin mengurus administrasi perkawinan yang diperlukan untuk menikah di gereja Katolik, di mana pihak catatan sipil menolak berkas yang mereka ajukan karena adanya perbedaan agama. Hadangan tersebut sempat membuat keduanya mengalami stres, namun pada akhirnya jalan keluar mereka temukan lewat informasi dari seorang yang ditemui di kantor catatan sipil.

Baik Jonathan maupun pasangan SW dan CL, menegaskan bahwa perkawinan beda agama yang mereka lakukan bukanlah untuk ditiru oleh pihak manapun. Mengingat praktik semacam ini masih belum diterima oleh sebagian kalangan dan tidak ada aturan jelas dalam hukum Indonesia, meskipun perkawinan beda agama yang dilakukan di luar negeri bisa dicatatkan di Indonesia.

“Jadi kita tidak menyarankan. Karena menikah beda agama itu nggak gampang. Harus benar-benar dewasa, harus selesai dengan diri sendiri. Karena menikah itu adalah kontrak seumur hidup,” ujar CL.

Beberapa narasi yang muncul dari perkawinan agama yang kerap di dengar CL adalah risiko terjadinya perceraian. CL tak menampik kebenaran tersebut, namun dia menilai segala sesuatu yang memicu perceraian ditentukan oleh sikap personality, bukan agama. Seseorang yang belum dewasa dalam bersikap dan berfikir, akan sulit mempertahankan rumah tangga, sekalipun perkawinan dilakukan oleh dua orang dengan keyakinan yang sama.

“Orang menikah dengan agama yang sama, banyak juga yang bercerai. Jadi lebih ke personality, kalau dia orangnya baik, apapun agamanya ya dia baik. Dan harus ada kompromi ke diri sendiri. Makanya selama menikah kita gak pernah berantem gara-gara agama. Jalanin agama sendiri-sendiri saja,” ungkap wanita kelahiran 1983 ini.

Problem Klasik

Praktik kawin beda agama sejatinya sudah ada sejak berpuluh tahun silam, salah satunya pernah dilakukan oleh artis kondang Jamal Mirdad dan Lidya Kandou, meskipun berujung perceraian. Di Indonesia sendiri, praktik semacam ini masih dianggap tabu dan memicu problematika, bahkan kerap menjadi bahan gunjingan netizen.

Bagi Jonathan, dia menyadari risiko dan pergolakan batin yang mungkin timbul dalam rumah tangganya, seperti pola pengasuhan anak. Maka sedari awal, dia dan juga istri sudah melakukan kompromi agar anak tidak gamang dalam memilih agama. Maka atas kesepakatan bersama, Jonathan menyerahkan pendidikan anak kepada istri. Memang terasa sangat berat, tapi Jonathan tak ingin terjadi tarik ulur mengenai keyakinan anaknya, karena hal itu akan berimbas kepada mental dan membuat anak menjadi bingung.

“Sebenarnya yang berat itu berdamai di anaknya. Biasanya kan yang gw tahu ya mereka saling tarik di anak, dan itu yang gw hindari. Makanya gw dari awal ketika anak gw di sekolahin di muslim, gw berusaha rela aja. Itu doang yang agak susah tuh sampai sekarang pun gua masih fifty-fifty,” tutur pria pecinta burung merpati ini.

Di samping potensi masalah yang muncul pasca perkawinan, Jonathan sadar bahwa perkawinan beda agama belumlah bisa diterima di kalangan masyarakat Indonesia. Bahkan negara pun tidak mengakomodir kendati pada kenyataannya perkawinan beda agama ini banyak terjadi. Maka Jonathan pun sempat merasa bahwa dirinya melakukan penyelundupan hukum karena perkawinan yang diselenggarakan di luar negeri bisa dicatatkan di Indonesia.

Sementara itu bagi SW, UU Perkawinan yang berlaku di Indonesia masih memiliki celah untuk menyelenggarakan kawin beda agama. Pada dasarnya Negara mengatur perkawinan sah jika dilakukan sesuai kepercayaan masing-masing. Maka di beberapa gereja Katolik, perkawinan beda agama diperbolehkan dengan tata cara Katolik.

Sebagai pelaku perkawinan beda agama, SW dan LC tidak berada pada posisi mendukung negara melegalkan perkawinan beda agama. Karena menurut mereka legalitas kawin beda agama di Indonesia bisa berdampak pada stabilitas negara, mengingat keragaman agama yang juga mengatur ragam tata cara perkawinan “Jadi, biarin aja seperti sekarang,” tutur SW yang berdarah Yogyakarta ini.

Persoalan kawin beda agama ini memang menjadi polemik di Indonesia. Beberapa waktu lalu E Ramos Petege, melalui tim kuasa hukumnya, mempersoalkan berlakunya Pasal 2 ayat (1) UU No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang menyebutkan setiap perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu. Dia mengajukan judicial review atas pasal di atas, namun permohonan itu pada akhirnya ditolak oleh Mahkamah Konstitusi (MK).

Pada dasarnya UU Perkawinan tidak menegaskan larangan kawin beda agama, dan tidak pula ada aturan khusus. Namun pada tahun 1986 Mahkamah Agung (MA) pernah mengeluarkan putusan No.1400K/PDT/1986 yang membatalkan penetapan No 382/Pdt/P/1986/PN.JKT.PST dan menyatakan kawin beda agama sah di Indonesia dengan jalan penetapan pengadilan. Putusan kasasi itu pula yang kerap menjadi yurisprudensi untuk penetapan status dan izin perkawinan beda agama hingga sekarang. Yurisprudensi ini mengabulkan permohonan untuk melakukan perkawinan beda agama di Kantor Catatan Sipil.

Dalam putusan itu, majelis kasasi mempertimbangkan kesadaran dan kerelaan penuh calon pengantin beragama Islam (Andi Vonny Gani P) yang sengaja tidak mengikuti lagi ketentuan hukum Islam dalam perkawinan. Ia dianggap sengaja menundukkan diri pada selain hukum Islam dalam perkawinannya. Oleh karena itu, permohonan kawin beda agama mereka diizinkan dan dicatat di Kantor Catatan Sipil.

Di Indonesia dengan keberagaman agama membuat perkawinan beda agama menjadi polemik. Mengutip artikel di Hukumonline, agama Islam, Hindu, dan Kristen melarang adanya perkawinan beda agama. Sementara untuk Budha memiliki aturan yang lebih longgar, di mana perkawinan beda agama (agama budha dan non-budha) bisa dilakukan. Lain pula halnya dengan Katolik Roma. Dalam ajaran agama Katolik Roma, perkawinan antara Katolik dan non-Katolik dilarang. Namun dispensasi bisa diberikan jika pasangan beda agama yang ingin menikah mengantongi izin dari ordinaris wilayah atau dari keuskupan Katolik Roma.

Dari penjelasan di atas dapat terlihat bahwa keabsahan perkawinan beda agama dalam UU Perkawinan tidak menjadi masalah sepanjang agama tersebut memperbolehkan adanya perkawinan beda agama. Namun akan berbeda kasusnya jika salah satu pasangan yang ingin menikah beda agama menganut larangan kawin beda agama.

Tags:

Berita Terkait