​​​​​​​Kisah Maria Ulfah dan Buku Indonesia Klaagt Aan
Tokoh Hukum Kemerdekaan

​​​​​​​Kisah Maria Ulfah dan Buku Indonesia Klaagt Aan

Ada referensi yang menyebutnya sebagai perempuan Indonesia pertama yang membuka kantor pengacara praktik. Dalam usia 18 tahun Maria Ulfah sudah kuliah hukum di Belanda.

Muhammad Yasin
Bacaan 7 Menit

Buku itu rupanya semakin menumbuhkan kesadaran Maria Ulfah betapa berartinya hidup di negara merdeka. Maka, ketika sudah menyelesaikan studi hukum di Leiden, ia berniat membawa buku menarik itu ke Indonesia.

Persoalannya, saat itu pemerintah kolonial Belanda melarang semua buku dan terbitan yang mengandung unsur nasionalisme. Setiap buku yang masuk diperiksa di pelabuhan, dan ia yakin buku Indonesia klaagt aan termasuk bacaan yang sulit lolos dari pemeriksaan. Untuk menghindari pemeriksaan Belanda, buku pidato Bung Karno itu tak dimasukkan ke dalam peti bersama buku lain, melainkan dimasukkan ke dalam tas tangan. “Buku Indonesia klaagt aan saya bungkus rapi dan saya masukkan dalam tas tangan saya, sehingga waktu saya pulang ke Tanah Air tidak diperiksa”, kenangnya.

Maria Ulfah bukan hanya berhasil membawa buku itu ke Indonesia, tetapi juga inspirasi dan motivasi yang ada di dalamnya untuk memperjuangkan kemerdekaan. Sempat beristirahat di rumah keluarga, Maria Ulfah mendapatkan pekerjaan pertama sebagai tenaga honorer di kantor pemerintahan kabupaten Cirebon. Tugasnya semacam legal drafter, menyusun peraturan lalu lintas. Sebenarnya, ia kurang menyukai pekerjaan ini, sehingga ketika ada tawaran menjadi guru, Maria Ulfah langsung mengiyakan. Adalah Soegiarti, temannya dulu di Belanda, yang mengajaknya mengajar di AMS Muhammadiyah di Batavia. Sekolah ini dipimpin oleh Ir. Djuanda.

Di sekolah inilah Maria Ulfah bertemu dengan Santoso Wirodihardjo, yang kemudian menjadi suaminya. Dalam buku biografi Maria Ulfah, Menteri Perempuan Pertama Indonesia dituliskan bahwa Santoso juga lulusan hukum dari Leiden, dan berasal dari keluarga priyayi seperti halnya Maria Ulfah. Santoso dibunuh Belanda pada 1948, saat bertugas sebagai Sekretaris Jenderal Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, dalam perjalanan darat dari Yogyakarta-Solo. Enam tahun kemudian, Maria Ulfah menikah dengan tokoh PSI yang dekat dengan Sjahrir, Soebadio Sastrosatomo.

Dari dua biografi dan beberapa referensi tergambar bagaimana perjuangan Maria Ulfah sebagai tokoh perempuan Indonesia, tidak hanya sebagai Menteri Sosial, atau Sekretaris Sekretaris Perdana Menteri/Dewan Menteri, tetapi juga dalam Kongres Wanita Indonesia, dan memperjuangkan hak-hak perempuan dalam diskursus Ordonansi Perkawinan antara lain melalui pendirian Biro Konsultasi Perkawinan. Ia juga pernah menjadi Ketua Sensor Film (1950-1961) dan menjadi anggota Dewan Pertimbangan Agung (DPA).

Di kedua buku biografi itu tak diceritakan detail tentang keterlibatan Maria Ulfa di dunia kepengacaraan, bahkan di buku Maria Ulfah Subadio Pembela Kaumnya (1982) yang memuat tanggal-tanggal penting dalam kehidupannya, juga tidak disinggung secara detail. Tetapi di buku karangan J.D. Legge (Kaum Intelektual dan Perjuangan Kemerdekaan, 1993) tertulis begini: “Seorang yang lain adalah Maria Ulfah –yang nantinya menikah mula-mula dengan Santoso, kemudian dengan Soebadio – yang memperoleh gelar sarjana hukum di Belanda pada tahun 1933 (dan menjadi pengacara wanita Indonesia pertama yang membuka praktik)”. Penelusuran yang lebih intens dan sungguh-sungguh tampaknya dibutuhkan untuk mengkonfirmasi catatan Legge tersebut.

Salah satu petunjuk dapat dilihat dalam buku Risalah Sidang BPUPKI dan PPKI terbitan Sekretariat Negara (1995). Di buku ini tertulis nama Raden Ayu Mr. Maria Ulfah Santoso, dan dilukiskan pernah ‘mendirikan biro konsultasi’ untuk melindungi wanita dan anak-anak. Apakah yang dimaksud Legge adalah pendirian Biro Konsultasi Perkawinan? Di buku biografi yang ditulis Ipong Jazimah dan Arifin Suryo Nugroho, tertulis sebuah petunjuk: “Perjuangan Maria Ulfah dalam membantu perempuan yang bermasalah dalam perkawinan memang tak mudah. Saat itu, sangat tidak biasa bagi seorang perempuan untuk mengurusi masalah perkawinan atau perceraian di Priesterraad atau Raad Agama atau Pengadilan Agama. Kehadirannya di Raad Agama sering dihalang-halangi. Saat itu hanya ada satu Raad Agama di Jakarta” (2021: 95).

Tags:

Berita Terkait