​​​​​​​Kisah Maria Ulfah dan Buku Indonesia Klaagt Aan
Tokoh Hukum Kemerdekaan

​​​​​​​Kisah Maria Ulfah dan Buku Indonesia Klaagt Aan

Ada referensi yang menyebutnya sebagai perempuan Indonesia pertama yang membuka kantor pengacara praktik. Dalam usia 18 tahun Maria Ulfah sudah kuliah hukum di Belanda.

Muhammad Yasin
Bacaan 7 Menit
Maria Ulfah. Ilustrasi: BAS
Maria Ulfah. Ilustrasi: BAS

Sejarawan asal Belanda, Harry A. Poeze, telah berjasa mendokumentasikan perjalanan sejumlah tokoh Indonesia di Belanda menjelang dan sesudah kemerdekaan. Sebagian besar adalah mahasiswa yang belajar di sejumlah universitas di Belanda. Buku Poeze, In het land van de Overheerser: Indonesiers in Nederland 1600-1950 telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. Salah satu yang disinggung dalam buku ini adalah Maria Ulfah Achmad, tokoh nasional kelahiran Serang 18 Agustus 1911.

Nama belakangnya merujuk pada sang ayah, RAA Mohammad Achmad. Ibunya, Raden Ayu Chadidjah Djajadiningrat adalah saudara kandung Hoesein Djajadiningrat, orang Indonesia pertama yang diangkat menjadi Guru Besar di Rechtshogeschool (RHS) Batavia. Ayah Maria Ulfah adalah satu dari sedikit orang Indonesia kala itu yang selesai menempuh pendidikan HBS. Belakangan, RAA Mohammad Achmad diangkat menjadi Bupati Kuningan.

Maria Ulfah merupakan salah seorang pejuang nasional yang berlatar belakang hukum. Ia memperoleh pendidikan hukum di Universitas Leiden, dan tercatat sebagai perempuan Indonesia pertama yang memperoleh gelar Meester in de Rechten (Mr.) dari universitas bergengsi itu. Sepulang dari Leiden, Maria Ulfah bekerja sebagai pegawai pemerintah di Cirebon. Tetapi pekerjaan itu tak sesuai harapannya, sehingga ia pindah ke Batavia menjadi guru hingga Jepang masuk. Pada masa Jepang, Maria Ulfah bekerja di Departemen Kehakiman, kemudian pindah ke Kementerian Luar Negeri. Setelah kemerdekaan, pada masa Kabinet Sjahrir, Maria Ulfah diangkat menjadi Menteri Sosial Republik Indonesia.

Poeze mencatat Maria Ulfah berangkat ke Negeri Belanda pada 1929 ditemani ayahnya, beserta adiknya Iwanah dan Hatnan. RM Achmad ditugaskan ke Belanda selama 10 bulan untuk mempelajari perkoperasian. Perjalanan ke Belanda itu memakan waktu sekitar satu bulan. Seperti tertulis dalam biografinya Maria Ulfah, Menteri Perempuan Pertama Indonesia (2021), karya Ipong Jazimah dan Arifin Suryo Nugroho, Maria dan keluarga naik kapal Tambora, milik Rotterdamse Lloiyd. “Setiba di negeri Belanda, saya belajar hidup sendiri, menyewa kamar, mengurus makanan sendiri, dan mengatur pelajaran saya pada Fakultas Hukum Universitas Leiden. Di negeri Belanda, saya merasa betapa bedanya hidup di negara merdeka,” tulis Maria Ulfah dalam buku Bunga Rampai Sumpah Pemuda (1978).

Maria Ulfah memilih tinggal di Leiden, agar dekat dengan kampus; sedangkan ayah dan kedua adiknya tinggal di Den Haag. Pada akhir pekan, naik kereta api, ia sering ke Den Haag. Di tempat kediaman ayahnya itulah Maria Ulfah berkenalan dengan beberapa tokoh nasional yang lebih senior seperti Agus Salim dan Hatta. Setelah sepuluh bulan mempelajari koperasi, RAA Mochammad Achmad dan kedua anaknya kembali ke Indonesia. Sementara, Maria Ulfah sudah mengikuti kuliah-kuliahnya di Fakultas Hukum Leiden. Dan, perlu dicatat, ketika itu Maria Ulfah baru berusia 18 tahun. 

Hukumonline.com

Maria Ulfah. Ilustrasi: BAS

Kuliah di Leiden

Keberangkatan ke Belanda bersama keluarga merupakan momentum baik bagi Maria Ulfah untuk memulai studinya di Leiden. Pada saat itu Belanda memang menjalankan poltik etis, membuka peluang untuk melanjutkan studi baik di Batavia maupun ke Belanda. Studi kedokteran dan hukum merupakan pilihan utama pada saat itu. Maria Ulfah lebih memilih studi hukum di Leiden.

Poeze menyebutkan dua pertimbangan mengapa Maria Ulfah memilih studi hukum. Pertimbangan pragmatisnya, studi hukum lebih singkat dibandingkan studi kedokteran. Jika studinya cepat, tidak terlalu membebani orang tuanya. Pertimbangan idealisnya, ia melihat sendiri anggota keluarganya bercerai dari suami, harus kembali ke rumah keluarga. Maria Ulfah berharap dengan menjadi ahli hukum ia dapat berbuat sesuatu bagi kedudukan kaum perempuan. Tekad ini direalisasikan Ulfah melalui keterlibatannya dalam Kongres Perempuan, dan membela kaum perempuan. Ketika di Leiden pun, Maria Ulfah tergabung dalam Vereeniging van Vrouwlijke Studenten Leiden (VVSL), perhimpunan mahasiswi Leiden, dan bersama teman-temannya membentuk klub bernama Happy Go Lucky.

Dalam biografi, Maria Ulfah Subadio, Pembela Kaumnya, yang ditulis Gadis Rasid (1982), tertulis bahwa Maria Ulfah adalah sarjana hukum pertama perempuan Indonesia yang lulus dari Fakultas Hukum Universitas Leiden. Namun tidak berarti, Maria Ulfah menjadi perempuan pertama yang kuliah di sana. Adik pahlawan nasional Dr Soetomo, bernama Siti Soendari, lebih dahulu kuliah bidang hukum di Leiden. Di luar bidang hukum, ada juga perempuan Indonesia yang sedang studi di Belanda, misalnya Soegiarti yang sedang mengambil ijazah akta mengajar atau hoofdacte (kemudian menjadi isteri Sutan Takdir Alisjahbana); dan Ida Haroen al-Rasyid yang sedang belajar kedokteran. Maria Ulfah sangat dekat dengan Siti Soendari seperti tertulis dalam biografinya tersebut.

“Selama di Leiden, Maria dan Siti Soendari sarapan bersama-sama di kamar Maria Ulfah. Makan siang dan makan malam di sebuah kantin yang disediakan untuk mahasiswa di club khusus mahasiswa. Hari minggi dan hari-hari libur kantin ini tutup. Pada hari-hari itu terpaksa mereka masak sendiri. Kerjasama semacam ini rupanya dianggap berhasil, sebab setelah mereka dua-dua kembali di Tanah Air, hidup bersama ini diteruskan. Mereka menyewa sebuah rumah kecil di Salemba Tengah (dulu Struiswijkstraat namanya)”.

Poeze mencatat dalam bukunya bahwa Maria tidak pernah menjadi anggota Perhimpunan Indonesia. Salah satu alasannya, apabila ia menjadi anggota organisasi pergerakan itu, kedudukan ayahnya dapat terancam bahaya. Tetapi bukan berarti ia tidak terlibat sama sekali. Setelah kembali ke Indonesia, ia menjadi salah satu tokoh perempuan yang kemudian diangkat menjadi Menteri Sosial pertama. Adalah Sjahrir yang menarik Maria ke pusaran politik. Rudolf Mrazek, penulis biografi Sjahrir, menulis bahwa Maria Ulfah adalah ‘sahabat Sjahrir’ yang sewaktu tinggal di negeri Belanda sering bersama Sjahrir mendengarkan kuliah-kuliah politik Jef Las, menghadiri pertemuan Liga Anti-Kolonialisme, menonton konser dan film. Di awal-awal kemerdekaan, Sjahrir dan Maria terlibat di Komisi Kebudayaan, yang antara lain mengurusi bahasa Indonesia.

Seperti Maria Ulfah, kala itu Sjahrir juga sedang belajar hukum di Amsterdam (akhirnya tidak selesai). Mereka sering berdiskusi. Mereka bukan hanya sahabat. Maria Ulfah banyak berguru kepada Sjahrir, belajar tentang arti penting nasionalisme dan perjuangan yang selama ini tak banyak menarik perhatiannya. Tenaga dan pikirannya telah ia sumbangkan menjelang kemerdekaan, khususnya ketika ia diangkat menjadi anggota Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI).

Baca:

Buku Indonesia Klaagt Aan

Seperti dibayangkan Maria Ulfah, kuliah hukum bisa lebih cepat selesai dibandingkan studi kedokteran. Untuk menyelesaikan studinya dengan cepat, Maria tekun belajar sambil mengikuti pergerakan kemerdekaan meskipun tak tercatat sebagai pengurus Perhimpunan Indonesia di Belanda. Ia banyak membaca buku.

Salah satu bacaan yang sangat disukai dan berkesan bagi Maria Ulfah adalah buku Indonesia Klaagt Aan. Buku ini dia beli di toko buku Dubbeldeman. Cover buku itu dihiasi lukisan dengan desain merah putih bergambar Jenderal van Heutsz yang menaklukkan Aceh dengan latar gambar korban pertempuran di Aceh. Buku ini sebenarnya berisi pembelaan Bung Karno sewaktu diadili di Landraad, Bandung. Orang Indonesia kemudian mengenal buku itu dengan judul Indonesia Menggugat: Pidato Pembelaan Bung Karno di depan Pengadilan Kolonial Bandung, 1930. Ketika Maria Ulfah membelinya baru tersedia versi bahasa Belanda. “Saya tertarik pada pembelaan Bung Karno itu karena bukan Soekarno menggugat, tetapi Indonesia menggugat”, tulisnya.

Buku itu rupanya semakin menumbuhkan kesadaran Maria Ulfah betapa berartinya hidup di negara merdeka. Maka, ketika sudah menyelesaikan studi hukum di Leiden, ia berniat membawa buku menarik itu ke Indonesia.

Persoalannya, saat itu pemerintah kolonial Belanda melarang semua buku dan terbitan yang mengandung unsur nasionalisme. Setiap buku yang masuk diperiksa di pelabuhan, dan ia yakin buku Indonesia klaagt aan termasuk bacaan yang sulit lolos dari pemeriksaan. Untuk menghindari pemeriksaan Belanda, buku pidato Bung Karno itu tak dimasukkan ke dalam peti bersama buku lain, melainkan dimasukkan ke dalam tas tangan. “Buku Indonesia klaagt aan saya bungkus rapi dan saya masukkan dalam tas tangan saya, sehingga waktu saya pulang ke Tanah Air tidak diperiksa”, kenangnya.

Maria Ulfah bukan hanya berhasil membawa buku itu ke Indonesia, tetapi juga inspirasi dan motivasi yang ada di dalamnya untuk memperjuangkan kemerdekaan. Sempat beristirahat di rumah keluarga, Maria Ulfah mendapatkan pekerjaan pertama sebagai tenaga honorer di kantor pemerintahan kabupaten Cirebon. Tugasnya semacam legal drafter, menyusun peraturan lalu lintas. Sebenarnya, ia kurang menyukai pekerjaan ini, sehingga ketika ada tawaran menjadi guru, Maria Ulfah langsung mengiyakan. Adalah Soegiarti, temannya dulu di Belanda, yang mengajaknya mengajar di AMS Muhammadiyah di Batavia. Sekolah ini dipimpin oleh Ir. Djuanda.

Di sekolah inilah Maria Ulfah bertemu dengan Santoso Wirodihardjo, yang kemudian menjadi suaminya. Dalam buku biografi Maria Ulfah, Menteri Perempuan Pertama Indonesia dituliskan bahwa Santoso juga lulusan hukum dari Leiden, dan berasal dari keluarga priyayi seperti halnya Maria Ulfah. Santoso dibunuh Belanda pada 1948, saat bertugas sebagai Sekretaris Jenderal Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, dalam perjalanan darat dari Yogyakarta-Solo. Enam tahun kemudian, Maria Ulfah menikah dengan tokoh PSI yang dekat dengan Sjahrir, Soebadio Sastrosatomo.

Dari dua biografi dan beberapa referensi tergambar bagaimana perjuangan Maria Ulfah sebagai tokoh perempuan Indonesia, tidak hanya sebagai Menteri Sosial, atau Sekretaris Sekretaris Perdana Menteri/Dewan Menteri, tetapi juga dalam Kongres Wanita Indonesia, dan memperjuangkan hak-hak perempuan dalam diskursus Ordonansi Perkawinan antara lain melalui pendirian Biro Konsultasi Perkawinan. Ia juga pernah menjadi Ketua Sensor Film (1950-1961) dan menjadi anggota Dewan Pertimbangan Agung (DPA).

Di kedua buku biografi itu tak diceritakan detail tentang keterlibatan Maria Ulfa di dunia kepengacaraan, bahkan di buku Maria Ulfah Subadio Pembela Kaumnya (1982) yang memuat tanggal-tanggal penting dalam kehidupannya, juga tidak disinggung secara detail. Tetapi di buku karangan J.D. Legge (Kaum Intelektual dan Perjuangan Kemerdekaan, 1993) tertulis begini: “Seorang yang lain adalah Maria Ulfah –yang nantinya menikah mula-mula dengan Santoso, kemudian dengan Soebadio – yang memperoleh gelar sarjana hukum di Belanda pada tahun 1933 (dan menjadi pengacara wanita Indonesia pertama yang membuka praktik)”. Penelusuran yang lebih intens dan sungguh-sungguh tampaknya dibutuhkan untuk mengkonfirmasi catatan Legge tersebut.

Salah satu petunjuk dapat dilihat dalam buku Risalah Sidang BPUPKI dan PPKI terbitan Sekretariat Negara (1995). Di buku ini tertulis nama Raden Ayu Mr. Maria Ulfah Santoso, dan dilukiskan pernah ‘mendirikan biro konsultasi’ untuk melindungi wanita dan anak-anak. Apakah yang dimaksud Legge adalah pendirian Biro Konsultasi Perkawinan? Di buku biografi yang ditulis Ipong Jazimah dan Arifin Suryo Nugroho, tertulis sebuah petunjuk: “Perjuangan Maria Ulfah dalam membantu perempuan yang bermasalah dalam perkawinan memang tak mudah. Saat itu, sangat tidak biasa bagi seorang perempuan untuk mengurusi masalah perkawinan atau perceraian di Priesterraad atau Raad Agama atau Pengadilan Agama. Kehadirannya di Raad Agama sering dihalang-halangi. Saat itu hanya ada satu Raad Agama di Jakarta” (2021: 95).

Tags:

Berita Terkait