KKB, KKSB, dan Konstruksi Sosial Politik Terorisme
Kolom

KKB, KKSB, dan Konstruksi Sosial Politik Terorisme

Keengganan pemerintah untuk melakukan pelabelan sebagai terorisme terhadap KKB sejenis Kelompok Egianus Kogoya bisa jadi adalah suatu pendekatan politik yang diambil untuk meredakan ketegangan akibat separatisme di Papua.

Bacaan 2 Menit

 

Tebang Pilih Label Terorisme

Hal yang kurang lebih sama terjadi di Amerika Serikat. Sembilan jemaat gereja berkulit hitam tewas di tangan seorang remaja kulit putih, Dylan Roof, di Charleston, South Carolina pada Rabu 17 Juni 2015. Peristiwa penembakan massal oleh penyerang tunggal (lone wolf), yang cukup sering terjadi di negeri Paman Sam ini, segera menuai amarah.  Karena ada nuansa kebencian rasial serta sikap arogan dari supremasi kulit putih (white supremacy) dalam kasus tersebut.

 

Namun demikian, institusi penegak hukum di AS cenderung enggan melabeli kekerasan di Charleston ini sebagai ‘terorisme’. Direktur FBI, James Comey, menyebutnya sebagai ‘hate crime’ dan bukan terorisme karena tidak melihat ada motif politik di dalamnya (TheHill, 21/06/2015). 

 

Di masa silam, kita ingat Timothy McVeigh, pemuda kulit putih mantan tentara AS veteran Perang Teluk, yang melakukan pemboman terhadap gedung federal di Oklahoma City, USA pada 19 April 1995. Kejahatan yang menewaskan 168 orang oleh pelaku tunggal (lone wolf) berkulit putih ini adalah serangan terdahsyat di USA sebelum kejadian 9/11. Namun juga tidak disebut sebagai terorisme. Tuduhan terhadap McVeigh adalah penggunaan senjata pemusnah massal, penggunaan bahan peledak, dan 8 dakwaan pembunuhan tingkat pertama (first degree murder).

 

Hampir sama dengan McVeigh, Anders Behring Breivik, seorang ultranasionalis Norwegia berkulit putih, membantai 77 orang hingga tewas di Oslo pada 22 Juli 2011. Motif utamanya adalah kebencian kepada imigran (utamanya imigran muslim) dan partai pemerintah yang mengakomodasi kelompok imigran tersebut. Apakah kemudian Breivik disebut sebagai teroris? Lagi-lagi tidak. Richard Orange (dalam TheTelegraph 17/03/ 2016) menggelari Breivik sebagai psikopat yang narsistik. Juga ia tidak disebut teroris karena berasal dari budaya, ras dan agama yang berbeda (dengan umumnya identitas para teroris). 

 

Sementara itu, insiden di tempat lain dengan pelaku atau terduga pelaku berasal dari suatu negeri di Timur Tengah atau memiliki nama yang lekat dengan nama-nama Muslim, dengan mudah mendapat label sebagai terorisme. Sebutlah pasca ledakan bom di Boston Maraton, AS pada 15 April 2013 yang menewaskan tiga orang. Atau pasca serangan dan penyanderaan di kafe coklat di Sydney, Australia yang menewaskan 2 orang pada 15-16 Desember 2014, atau pasca penyerangan brutal ke kantor koran mingguan Charlie Hebdo di Paris pada 7 Januari 2015 yang menewaskan 11 orang. 

 

Di mana, bukan kebetulan, pelakunya adalah keturunan Chechnya (Tsarnaev bersaudara), keturunan Aljazair-Mali (Kouachi bersaudara dan Coulibaly) dan keturunan Iran (Man Haron Monis). Alias mereka terafiliasi dengan negara berpenduduk muslim mayoritas atau kepada kelompok muslim tertentu.

 

Tafsir Kenyal Terorisme

Terorisme sejatinya adalah konsep yang relatif sulit didefinisikan. Sezgin (2007) menyebutkan bahwa terorisme adalah konsep yang paling diperdebatkan dalam ilmu sosial dan mendefinisikan terorisme adalah salah satu pekerjaan yang paling memicu kontroversi dalam wilayah hukum dan politik. Terorisme adalah juga terminologi yang sering dipertentangkan dan sarat dengan subyektifitas.

Tags:

Berita Terkait