KKB, KKSB, dan Konstruksi Sosial Politik Terorisme
Kolom

KKB, KKSB, dan Konstruksi Sosial Politik Terorisme

Keengganan pemerintah untuk melakukan pelabelan sebagai terorisme terhadap KKB sejenis Kelompok Egianus Kogoya bisa jadi adalah suatu pendekatan politik yang diambil untuk meredakan ketegangan akibat separatisme di Papua.

Bacaan 2 Menit

 

Kendati demikian, negara dan para sarjana bersepakat bahwa dalam suatu peristiwa terorisme terkandung empat elemen (Isthiaq Ahmad, 2012), yaitu: (1) terorisme adalah kejahatan; (2) terorisme dilakukan dengan sengaja; (3) target utama terorisme adalah masyarakat sipil; (4) motif utamanya adalah untuk menciptakan ketakutan.

 

Definisi tentang terorisme, dengan demikian, adalah lekat dengan konstruksi sosial seperti apa yang beredar di sekitar kejadian tersebut. Subyektifitas lembaga penegak hukum, media massa, hingga masyarakat amat mempengaruhi label yang akan diberikan kepada si tersangka pelaku. Mc Cauley (2007) berpendapat bahwa terorisme secara umum di’framing’ oleh media dan para politisi sebagai suatu tindakan peperangan ataupun kejahatan. Nimmer (2011) menyebutkan bahwa setelah peristiwa 9/11, kata ‘terorisme” amat sering dieksploitasi para politisi. Ia telah menjadi terminologi penting pada narasi utama budaya Barat, sama hal-nya seperti kebebasan (freedom dan demokrasi (demokrasi).

 

Jude Mc Culloh (2007) mensinyalir bahwa framing kejahatan transnasional, utamanya ‘perang terhadap terorisme’ telah memberikan fiksi yang amat produktif untuk memperluas daya paksa dan kekuasaaan suatu negara. Fiksi yang produktif ini secara sengaja dilahirkan untuk memenuhi ‘kekosongan ancaman” terhadap negara pasca usainya era Perang Dingin (Blok Barat vs Blok Timur). Penguasa seringkali ‘memerlukan musuh’. Ketika musuh itu tidak ada, maka ia harus diciptakan. Perang melawan terorisme adalah fiksi yang dianggap paling produktif, dibandingkan ‘perang melawan narkotika’ dan “perang melawan kejahatan terorganisir.”

 

Adil Mendefinisikan Terorisme

Terorisme sampai kini tetap sukar didefinisikan dan bersifat sangat subyektif. Schmid dan Jongman (1988) menemukan ada 22 unsur definisi dari sekiar 109 definisi yang berbeda-beda tentang terorisme. Sementara itu Walter Laqueur (1999)  menunjukkan ada 100 definisi tentang terorisme, sampai akhirnya ia menyimpulkan bahwa karakteristik umum dari semua definisi tentang terorisme hanyalah: bahwa terorisme itu menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan.

 

Maka, atas nama keadilan dan nalar sehat, terorisme tidak dapat dipaksakan hanya berwajah tunggal, misalnya identik dengan wajah ke-Arab-Arab-an atau penganut agama tertentu saja. Karena, potensi untuk melakukan kekerasan terdapat di semua negara, bangsa, etnis dan penganut agama.

 

Kelompok bersenjata di Papua, apakah disebut KKB atau KKSB, sejatinya adalah para pelaku atau terduga pelaku terorisme. Mereka melakukan teror, menebar ancaman,  menyandera, membunuh, menyiksa dan menculik warga sipil, seringkali dengan motif politik. Maka, mereka adalah teroris. Sama halnya dengan kelompok di Poso, di Bima, di Jawa Barat, Jawa Tengah ataupun Jawa Timur.

 

Keengganan pemerintah untuk melakukan pelabelan sebagai terorisme terhadap KKB sejenis Kelompok Egianus Kogoya bisa jadi adalah suatu pendekatan politik yang diambil untuk meredakan ketegangan akibat separatisme di Papua. Suatu langkah yang diambil untuk mempertahankan integrasi Papua dan Papua Barat dengan NKRI yang memang telah menjadi tantangan bagi NKRI sejak tahun 1960-an. Hal ini secara politik masuk akal, walaupun secara hukum menimbulkan ketidakadilan.

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait