KKI Respons Statement BPOM Terkait Gugatan ke PTUN
Utama

KKI Respons Statement BPOM Terkait Gugatan ke PTUN

Kepala BPOM tidak mengeluarkan pernyataan-pernyataan yang mendahului hakim dengan mengatakan gugatan KKI salah diajukan ke PTUN.

Fitri Novia Heriani
Bacaan 4 Menit
Ketua Ketua Komunitas Konsumen Indonesia (KKI), David Tobing. Foto: RES
Ketua Ketua Komunitas Konsumen Indonesia (KKI), David Tobing. Foto: RES

Pekan lalu Komunitas Konsumen Indonesia (KKI) melayangkan gugatan kepada Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) ke PTUN. Gugatan tersebut pun direspons oleh BPOM dan menyebut akan meminta bantuan hukum kepada Kejagung.

Ketua KKI David Tobing pun menanggapi statement tersebut. Menurut David, Kepala BPOM seharusnya cukup menggunakan Biro Hukum di BPOM dalam menghadapi Gugatan KKI ke PTUN.

"Ini tidak elok karena BPOM RI sendiri berpotensi menjadi pihak yang dimintai pertanggungjawaban dari sisi pidana karena akibat kelalaian BPOM yang mengeluarkan ijin edar obat sirup yang tercemar mengakibatkan banyak korban meninggal dan sakit," kata David dalam pernyataan tertulis, Jumat (18/11).

Baca Juga:

David menegaskan BPOM memberikan Sertifikat Cara Distribusi Obat yang Baik (CDOB) kepada pedagang besar farmasi yang memasok bahan baku ke Produsen Obat. BPOM juga yang mengeluarkan ijin edar atas obat yang tercemar dan mengakibatkan banyaknya korban meninggal dan sakit

Sehingga BPOM berpotensi menjadi pelaku ataupun pihak yang turut serta melakukan tindak pidana. Karena saat ini sudah ada distributor obat yang dicabut sertifikat CDOB, sudah ada produsen obat yang dicabut CPOBnya dan sudah 73 obat yang dicabut ijin edarnya. Maka sebaiknya Kejagung menyikapi dengan bijak permintaan dari Kepala BPOM RI untuk mendampinginya di perkara gugatan KKI.

"Dengan meminta bantuan Kejagung Publik jadi bisa menilai Tindakan Kepala BPOM ingin melepaskan tanggung jawab dan menyalahkan pihak lain serta tidak mengakui kelalainya dalam Pengawasan obat terkait cemaran EG/DEG yang menimbulkan banyaknya korban jiwa." tegas David.

David menambahkan Kepala BPOM terancam dikenakan pidana karena dianggap melakukan pembohongan publik. "Awalnya ada 5 sirup obat tercemar kemudian direvisi menjadi 3 yang tercemar. Ada juga 7 sirup obat tidak tercemar kemudian direvisi menjadi 5 sirup obat tidak tercemar," imbuhnya.

Dan yang cukup fatal, lanjut David, BPOM mengumumkan 198 daftar sirup obat tidak tercemar, kemudian di pengumuman berikutnya BPOM mengumumkan 14 dari 198 tersebut malah dinyatakan tercemar EG/DEG dan BPOM menyatakan rilis terhadap 198 obat yang tidak tercemar tidak berlaku lagi.

"Inilah yang kita anggap BPOM telah melakukan Pembohongan Publik," ujar David.

David menilai tindakan BPOM tersebut  bisa melanggar Pasal 55 UU Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik yang menyatakan, Setiap Orang yang dengan sengaja membuat Informasi Publik yang tidak benar atau menyesatkan dan mengakibatkan kerugian bagi orang lain dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp5.000.000,00 (lima juta rupiah)."

Selain itu berita bohong merupakan Pelanggaran dalam Pasal 28 ayat (1) juncto Pasal 45 UU ITE dengan ancaman Pidana Penjara Paling Lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 1 miliar ," ujar David.

David mengimbau agar Kepala BPOM tidak mengeluarkan pernyataan-pernyataan yang mendahului hakim dengan mengatakan gugatan KKI salah diajukan ke PTUN.

"Ini arogan sekali, apakah Kepala BPOM tidak bertanya ke biro hukumnya terlebih dahulu sebelum membuat pernyataan? Gugatan KKI ke PTUN sudah berdasar Pasal 2 ayat (1) Peraturan Mahkamah Agung 2/2019 tentang Pedoman Penyelesaian Sengketa Tindakan Pemerintahan dan Kewenangan Mengadili Perbuatan Melanggar Hukum Oleh Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan (Onrectmatige Overheidsdaad). Nah karena Tindakan BPOM kami nilai melanggar hukum maka Pengadilan yang berwenang ya PTUN. Jangan dahulukan Hakim PTUN dalam memutuskan dong," tambah David.

Terakhir David meminta sikap kenegarawan dari Kepala BPOM untuk mengakui kelalaian dalam melaksanakan tugas serta meminta maaf kepada seluruh Konsumen Indonesia.

Sebelumnya, Kepala BPOM Penny K Lukito menyebut gugatan hukum melalui Pengadilan Tata Usaha Negara PTUN atas kasus obat sirop mengandung zat kimia berbahaya sebagai langkah yang salah.

"Tapi salah sekali ya, melakukan gugatan ke PTUN itu, karena tidak paham mereka. Salah sekali," kata Penny K Lukito usai menggelar konferensi pers perkembangan hasil pengawasan dan penindakan terkait sirop obat tercemar EG/DEG di gedung BPOM RI di Jakarta, dikutip Antara.

Menurut Penny, kejadian gangguan ginjal akut yang dikaitkan dengan sejumlah produk obat sirop tercemar Etilen Glikol/Dietilen Glikol (EG/DEG) terjadi pada satu periode di mana sedang terjadi kelangkaan bahan baku.

Kemudian, situasi itu dimanfaatkan oknum pemasok bahan baku obat sirop untuk memasarkan produk yang diduga tercemar EG/DEG yang melampaui ambang batas kepada sejumlah produsen obat lewat jalur industri kimia biasa.

"Jadi kelihatannya, ada satu periode di mana ada kelangkaan, kemudian karena itu pemasokannya bukan melalui perusahaan besar farmasi, tetapi melalui jalur industri kimia biasa, ya masuklah mereka," katanya.

Menurut Penny, oknum tersebut mengoplos dan memalsukan bahan baku pengencer Propilen Glikol (PG) menggunakan EG/DEG yang terlarang di Indonesia.

"Jadi ada satu industri farmasi menerima satu batch bahan pelarut yang terdiri dari tiga drum, dua drumnya kami cek, memenuhi persyaratan 0,1 persen EG dan DEG-nya (ambang batas aman), satunya lebih dari 90 persen kandungannya, bayangkan itu, artinya itu memang pelarut EG dan DEG," katanya.

Penny mengatakan, oknum tersebut juga memalsukan label produsen multinasional bahan baku obat sirop Dow Chemical untuk mengelabui produsen.

"Ternyata terbukti, dilakukan pengoplosan pencampuran dan kami lihat juga labelnya disebutkan Dow Chemical. Tapi pada label Chemical-ya (abjad) M-nya dua, terus Dow Chemical Thailand. Kami cek, nggak ada itu ya, harusnya itu Dow Chemical AS, tapi dipalsukan," katanya.

Selain aspek kejahatan, kata Penny, ditemukan pula adanya dugaan kelalaian yang dilakukan sejumlah industri farmasi yang selama ini memenuhi ketentuan dalam pemanfaatan ambang batas aman zat kimia pelarut obat sirop.

"Perusahaan itu patuh melakukan pegujian dan mereka mendapatkan (bahan baku), mereka mengembalikan, dan itu tercatat. Sehingga akhirnya, produk mereka aman. Jadi aspek kelalaian dari industri yang tidak melakukan ketentuan Cara Produksi Obat yang Baik (CPOB)," ujarnya.

Penny mengatakan, setiap produsen obat memiliki kewajiban untuk melakukan uji mutu dan keamanan terhadap bahan baku secara mandiri, sebagai bagian dari izin edar yang diberikan BPOM.

"Pengujian mutu terhadap bahan pelarut atau bahan baku yang mereka terima dari produsen, dari distributor, harus selalu dicek," katanya.

Tags:

Berita Terkait