Komnas Perempuan Mengutuk Perbuatan Herry Wirawan, Tapi Tegas Menolak Hukuman Mati
Terbaru

Komnas Perempuan Mengutuk Perbuatan Herry Wirawan, Tapi Tegas Menolak Hukuman Mati

Perbuatan yang dilakukan pelaku pemerkosaan terhadap 13 santri di Bandung, Herry Wirawan sangat memprihatinkan karena posisinya sebagai pemuka agama dan menjalankan institusi pendidikan.

Oleh:
Ady Thea DA
Bacaan 2 Menit
Komnas Perempuan Andy Yentriyani. Foto: Istimewa
Komnas Perempuan Andy Yentriyani. Foto: Istimewa

Proses penegakan hukum dalam perkara pemerkosaan terhadap 13 santri di Bandung oleh Herry Wirawan (HW) mendapat apresiasi berbagai pihak. Ketua Komnas Perempuan, Andy Yentriyani, mengatakan proses hukum yang berjalan tergolong baik dan menjadi contoh baik dalam penegakan kasus kekerasan seksual. Bahkan putusan kasasinya tergolong cepat dibandingkan perkara lainnya yang bisa berlarut-larut penanganannya sampai tahunan dan tidak jelas apa hambatannya.

Sebagaimana diketahui putusan kasasi MA bernomor 5642 K/PID.SUS/2022 memperkuat putusan Pengadilan Tinggi Bandung yang diantaranya memvonis hukuman mati HW, menghukum untuk membayar restitusi kepada korban dengan total Rp331,5 juta, dan hasil rampasan harta kekayaan untuk kebutuhan biaya pendidikan dan kelangsungan hidup anak korban dan bayinya.

Andy menilai perbuatan yang dilakukan HW sangat memprihatinkan karena posisinya sebagai pemuka agama dan menjalankan institusi pendidikan. Oleh karena itu perkara ini harus mendapatkan hukuman yang berat dan adil serta setimpal. Hal ini tak hanya memberi penjeraan terhadap pelaku, tapi masyarakat juga menerima pesan bahwa perkara ini jangan terjadi lagi di masa depan.

Menurut Andy, penghukuman terhadap pelaku merupakan salah satu cara dari upaya pemulihan korban. Putusan MA mengoreksi putusan sebelumnya yang membebankan restitusi kepada negara. Awalnya, restitusi harus dibebankan lebih dulu kepada pelaku jika merujuk UU No.12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual, sehingga hartanya bisa disita. Jika harta pelaku tidak cukup negara menyediakan dana bagi korban.

Soal vonis hukuman mati, Andy menegaskan pada intinya Komnas Perempuan menolak hukuman mati. Konstitusi memandatkan hak hidup tidak boleh dikurangi dalam kondisi apapun. Soal hukuman yang perlu diperhatikan tak hanya menghukum pelaku, tapi juga pemulihan terhadap korban.

“Kami mengutuk perbuatan yang dilakukan HW. Tapi tegas menolak hukuman mati,” kata Andy Yentriyani dalam acara diskusi yang digelar stasiun radio di Jakarta, Rabu (4/1/2023).

Andy menilai hukuman mati cenderung menyederhanakan persoalan, seolah itu menjadi hukuman yang paling berat bagi pelaku. Tapi pada saat yang bersamaan perampasan nyawa menimbulkan masalah baru. Konstitusi menjamin hak hidup tak bisa dikurangi dalam kondisi apapun. Itu adalah hak prerogatif yang dimiliki Tuhan.

Hasil kajian di berbagai negara menunjukkan hukuman mati tidak efektif. Efek jera yang ditimbulkan juga tidak terbukti baik itu dalam kasus korupsi, terorisme, dan kekerasan seksual. Harus ada infrastruktur yang dbangun untuk melakukan pencegahan yang efektif. Sekalipun dihukum mati belum tentu pelaku menyesali perbuatannya.

Tindakan yang dilakukan HW menurut Andy tidak bisa dijerat menggunakan UU No.12 Tahun 2022 karena beleid itu belum terbit ketika terjadinya peristiwa. Jika menggunakan UU No.12 tahun 2022 bisa dikaitkan dengan isu perbudakan seksual karena peristiwa terjadi di lingkungan di mana korban kehilangan otonomnya. Pelaku menggunakan institusi pendidikan dan agama, sehingga korban tidak mengenali ada perbuatan yang salah.

Perjalanan kasus ini cukup panjang, Andy melihat masyarakat sudah curiga, tapi tidak ada yang berani mengambil langkah karena terjadi di institusi pendidikan dan keagamaan yang digunakan pelaku untuk melakukan kekerasan seksual. “Kami mengecam ini, merusak nama baik lembaga pendidikan dan keagamaan.”

Tags:

Berita Terkait