Konflik SDA dan Agraria Berpotensi Meluas
Berita

Konflik SDA dan Agraria Berpotensi Meluas

Pemerintah direkomendasikan untuk melakukan moratorium izin sampai pembentukan lembaga penyelesaian konflik agraria.

ADY
Bacaan 2 Menit

Semua itu dilakukan dalam rangka menjalankan amanat TAP MPR No.IX Tahun 2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan SDA. Jika usulan itu tak dipertimbangkan pihak berwenang, Widiyanto cemas konflik SDA dan agraria tak akan memudar. "Perubahan tren konflik tersebut (sekarang,-red) menjadi merata di seluruh Indonesia," kata dia dalam jumpa pers di Jakarta, Jumat (15/2).

Pada kesempatan yang sama, aktivis bidang Analisis dan Resolusi Konflik HuMa, S Rakhma Mary, maraknya konflik SDA dan agraria salah satunya bersumber dari banyaknya izin yang diberikan oleh pemerintah, khsusunya di daerah untuk perusahaan. Ujungnya, dengan dalih mengantongi izin dari pihak berenang dan merasa sebagai pihak yang secara hukum sah menggunakan lahan, perusahaan tersebut mengambil alih lahan yang sudah digunakan masyarakat. Menurutnya sebelum menerbitkan kebijakan, pemerintah dan pihak terkait harus melibatkan masyarakat yang sudah lebih dulu menggunakan lahan itu.

Bagi Rakhma semangat untuk melibatkan peran masyarakat secara aktif sudah tertuang dalam UU Pokok Agraria. Sayangnya, peraturan perundang-undangan yang ada terkait SDA dan agraria seperti UU Minerba dan Pengadaan Tanah dirasa tak mengikuti amanah UU Pokok Agraria. Apalagi, fokus pemerintah saat ini membangun ekonomi lewat kebijakan Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI). “Akibatnya, terjadi pengambilalihan tanah warga secara sewenang-wenang,” ucapnya.

Dalam proses perampasan tanah warga itu, Rakhma menjelaskan ada beberapa modus yang kerap digunan seperti banyaknya izin yang diterbitkan Pemda, pemalsuan dan penduplikasian dokumen oleh oknum. Bahkan, dalam proses pengambilalihan lahan, Rakhma menyebut pihak perusahaan menggunakan aparat keamanan dan preman untuk mengusir warga dari lahan yang digarapnya. Tak ketinggalan, cara-cara paksaan itupun menurut Rakhma terjadi ketika pihak pemerintah mengambilalih tanah warga.

Tentu saja untuk memperjuangkan hak atas tanah, Rakhma menyebut warga tak tinggal diam, karena telah menempuh berbagai cara. Langkah yang kerap digunakan adalah jalur non litigasi seperti bermusyawarah dengan pihak berwenang. Tapi, warga selalu dikalahkan dan posisinya dilemahkan. Hal serupa juga terjadi ketika warga menempuh jalur hukum. Misalnya, ketika mengajukan sengketa ke pengadilan, warga selalu kalah karena pengadilan berdalih kalau warga tak punya bukti-bukti tertulis yang sah seperti sertifikat.

Padahal, faktanya, warga telah turun temurun menggunakan lahan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Ironisnya, ketika warga meminta bantuan pihak pemerintahan yang berwenang, cenderung diarahkan untuk menyelesaikan sengketa yang ada lewat jalur pengadilan. Tapi, saat ini Rakhma menemukan bahwa pemerintah mulai menggunakan pendekatan baru, dinamakan program kemitraan. Dalam program itu, warga yang menggarap lahan, ditawarkan untuk bekerja di perusahaan yang akan beroperasi di atas lahan garapan itu.

Walau pemerintah memandang pendekatan itu sebagai salah satu cara terbaik untuk melakukan mencegah konflik, tapi Rakhma menilai hal itu tak menuntaskan masalah yang ada. Karena, pada intinya pendekatan kemitraan itu tak menyelesaikan persoalan karena konflik yang ada tak dituntaskan yaitu hak rakyat atas tanah. Atas dasar itu, Rakhma berpendapat harus ada lembaga khusus yang independen untuk menyelesaikan konflik agraria. Misalnya, membentuk Komisi Penyelesaian Konflik Agraria.

Tags:

Berita Terkait