Konsekuensi Nikah Siri bagi Istri dan Anak
Terbaru

Konsekuensi Nikah Siri bagi Istri dan Anak

Sebelum memutuskan nikah siri, pahami dulu konsekuensinya. Berikut konsekuensi nikah siri bagi istri dan anak dari sudut pandang hukum.

Oleh:
Tim Hukumonline
Bacaan 3 Menit
Ilustrasi konsekuensi nikah siri. Foto: pexels.com
Ilustrasi konsekuensi nikah siri. Foto: pexels.com

Meski nikah siri dalam Islam dinyatakan sah, hukum positif di Indonesia tidak mengenal adanya istilah nikah siri. Pun tidak ada peraturan perundang-undangan yang secara khusus mengatur hukum nikah siri. Lebih lanjut, hukum mengenai perkawinan diatur secara khusus dalam UU Perkawinan.

Ketentuan Pasal 2 ayat (1) UU Perkawinan menerangkan bahwa perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu. Dilanjutkan dalam Pasal 2 ayat (2) UU Perkawinan, tiap-tiap perkawinan dicatat menurut perundang-undangan yang berlaku.

Kemudian, pada bagian Penjelasan Umum nomor 4 (b) UU Perkawinan, diterangkan bahwa pencatatan tiap-tiap perkawinan adalah sama halnya dengan pencatatan peristiwa-peristiwa penting dalam kehidupan seseorang, misalnya kelahiran, kematian yang dinyatakan dalam surat-surat keterangan, suatu akta resmi yang juga dimuat dalam daftar pencatatan.

Dalam pernikahan siri, tidak ada surat nikah siri. Artinya pernikahan ini tidak tercatat dan tidak memiliki kekuatan hukum. Konsekuensinya, istri siri tidak memiliki legalitas di hadapan negara. Nantinya, pengurusan warisan atau harta gono gini saat cerai tidak dapat dilakukan. Konsekuensinya, istri siri tidak dapat menuntut apa pun.

Baca juga:

Status Hukum Anak Hasil Nikah Siri

Di mata hukum, anak hasil nikah siri tidak dapat disebutkan sebagai anak yang “sah”. Status anak hasil nikah siri sama halnya dengan anak di luar kawin. Ketentuan tersebut sebagaimana diatur dalam Pasal 42 UU Perkawinan yang menyebutkan bahwa anak yang sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah.

Lebih lanjut, Pasal 43 ayat (1) UU Perkawinanjo. Pasal 100 KHI menerangkan bahwa anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan nasab dengan ibunya dan keluarga ibunya, kecuali ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum dapat membuktikan dapat membuktikan adanya hubungan darah sebagai ayahnya.

Tags:

Berita Terkait