Konsumen Cerdas Paham Regulasi, Berorientasi Produk dalam Negeri
Fokus

Konsumen Cerdas Paham Regulasi, Berorientasi Produk dalam Negeri

SNI menjadi salah satu instrumen penting yang bisa menjadi patokan konsumen dalam memilih produk. Pengetahuan pentingnya SNI perlu digalakkan untuk mewujudkan konsumen cerdas.

Oleh:
YOZ
Bacaan 2 Menit
Ilustrasi produk mainan anak ber-SNI. Foto: YOZ
Ilustrasi produk mainan anak ber-SNI. Foto: YOZ
Di era Masyarakat Ekonomi Asean (MEA) saat ini, konsumen di Indonesia dimanjakan dengan beragam produk asal luar negeri. Hal ini perlu diimbangi dengan pengetahuan konsumen. Hari Konsumen Nasional (Harkonas) yang diperingati setiap 20 April, kiranya menjadi momentum yang tepat bagi masyarakat untuk meningkatkan kesadaran demi mewujudkan konsumen cerdas. 

Pada dasarnya tidak semua produk asal luar negeri memiliki kualitas yang lebih baik dari produk dalam negeri. Di Indonesia, setidaknya Standar Nasional Indonesia (SNI) dan label bahasa Indonesia pada barang menjadi instrumen penting yang bisa menjadi patokan konsumen dalam memilih produk. Pengetahuan mengenai dua hal tersebut perlu digalakkan bagi konsumen di tengah gencarnya produk luar yang masuk ke Indonesia.

Di penghujung 2015, Menteri Perdagangan Thomas Trikasih Lembong menerbitkan dua aturan yakni Permendag No.72/M-DAG/PER/9/2015 tentang Perubahan Ketiga Atas Permendag No.14/M-DAG/PER/3/2007 tentang Standardisasi Jasa Bidang Perdagangan dan Pengawasan Standar Nasional Indonesia (SNI) Wajib Terhadap Barang dan Jasa Yang Diperdagangkan dan Permendag No.73/M-DAG/PER/9/2015 tentang Kewajiban Pencantuman Label Dalam Bahasa Indonesia Pada Barang.

Dirjen Perlindungan Konsumen dan Tertib Niaga (PKTN), Widodo, mengatakan konsumen wajib dilindungi dari bahaya barang-barang yang tidak memenuhi SNI. Jika semua pelaku usaha memahami pentingnya kedua aturan ini, menurutnya, pelaku usaha dapat menjaga kelangsungan bisnisnya karena konsumen semakin percaya. “Demi melindungi konsumen pelaku usaha wajib memperhatikan aturan-aturan yang ada,” kata Widodo.

Setidakya, ada 14 ketentuan yang termuat dalam Permendag 72/2015. Ketentuan tersebut antara lain menghapus beberapa aturan dalam Permendag sebelumnya. Misalnya, ketentuan mengenai Surat Pendaftaran Barang (SPB). Permendag 72/2015 menyatakan, pengawasan pra pasar barang impor hanya dilakukan melalui Nomor Pendaftaran Barang (NPB). Penerbitan NPB pun kini menggunakan sistem komputerisasi. Sehingga, pelaku usaha cukup mengakses Indonesia National Single Window (INSW) secara online.

Dalam Permendag Tahun 2007, sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 16 ayat (1), SPB merupakan dokumen impor yang di dalamnya terdapat NPB. Sementara itu, dalam Permendag 72/2015 disebutkan bahwa NPB tetap wajib dimiliki meskipun ketentuan mengenai SPB ditiadakan. Selain itu, jika sebelumnya SPB diharuskan ada dalam setiap aktivitas impor, kini NPB hanya berlaku sesuai dengan masa berlaku Sertifikat Produk Penggunaan Tanda (SPPT) SNI dan tidak dapat diperpanjang. Hanya saja, NPB yang sudah terlanjur terbit sebelum adanya Permendag 72/2015, dinyatakan tetap berlaku.

Penghapusan SPB juga mengubah prosedur re-ekspor. Sebelumnya, jika permohonan SPB ditolak atau ada ketidaksesuain barang dengan SNI, maka pengusaha harus melakukan re-ekspor. Kini, jika terbukti barang yang dijual tidak sesuai dengan SNI, maka NPB akan dibekukan hingga pengusaha menyampaikan hasil perbaikannya kepada pemerintah. Sementara itu, re-ekspor dilakukan jika pengusaha terbukti tidak memiliki NPB. Adapun mengenai biaya pelaksanaan masih tetap harus ditanggung perusahaan.

Mengenai tata cara pendaftaran barang pun menjadi lebih sederhana. Di dalam Permendag 72/2015 hanya disyaratkan pengajuan perolehan NPB dengan melampirkan foto kopi angka pengenal importir (API), foto kopi SPPT SNI atau sertifikat kesesuaian lain, foto barang yang didaftarkan, dan untuk pendaftaran barang tertentu menyertakan surat pendaftaran/ijin tipe.

Sementara itu, jika dibandingkan dengan aturan yang berlaku sebelumnya, pengusaha juga diwajibkan melampirkan surat pernyataan kesediaan mencantumkan tanda SNI dan NPB pada barang atau kemasan produknya. Belum lagi, harus ada foto kopi packing list, invoice, dan Bill of Landing (B/L), Airway Bill non-Negotiable, ataupun Inland Bill. Importir yang namanya tercantum dalam B/L juga harus disebutkan dalam sebuah surat pernyataan dari pabrikan luar negeri bahwa produk yang diekspornya telah sesuai dengan SNI.

Meski dalam pendaftaran NPB tak diperlukan lagi surat pernyataan kesediaan mencantumkan tanda SNI dan NPB dalam barang atau kemasan produk, namun Permendag 72/2015 tetap mewajibkan pencantuman NPB itu. Pasal 19 Permendag telah diubah sehingga ketentuannya mengatur bahwa setiap barang atau kemasan yang akan diperdagangkan wajib mencantumkan NPB.

Bahkan, kini sanksi atas kelalaian tidak mencantumkan NPB menjadi lebih berat. Sebelumnya, jika tidak ada NPB dalam produk atau kemasan, pengusaha hanya menerima teguran tertulis. Saat ini, sanksi yang dikenakan langsung berupa larangan menjual produk tersebut. Jika sanksi tersebut dalam satu bulan tidak memberikan efek jera, NPB pengusaha langsung dibekukan.

Dalam hal pengawasan SNI, Permendag 72/2015 menambahkan satu pasal baru. Pasal 6A mengatur bahwa pelaku usaha yang memperdagangkan barang wajib mengetahui identitas pemasok barang yang diperdagangkannya. Disebutkan, paling tidak ada dua hal yang menjadi identitas minimal pemasok barang. Hal itu adalah nama dan alamat lengkap baik bagi tiap produsen, importir, distributor, subdistributor, maupun pemasok lainnya.

Ketentuan mengenai asal-usul barang tak hanya sekadar kewajiban bagi pengusaha. Sebab, ada sanksi menanti bagi pengusaha yang tak mematuhinya. Dalam Permendag 72/2015 disebutkan, sanksi yang diberikan adalah sanksi administratif, bisa berupa teguran, larangan memperdagangkan produk tersebut, atau bahkan pencabutan izin usaha.

Pengawasan juga diperketat dengan penambahan mekanisme uji petik. Permendag terbaru menyatakan bahwa sewaktu-waktu pihak petugas Kementerian Perdagangan dapat mengambil sampel barang yang telah mendapat SNI untuk diuji. Barang itu harus diambil langsung dari gudang perusahaan. Hal ini tak lain dalam rangka meningkatkan perlindungan terhadap konsumen. Oleh karena itu, Permendag mengamanatkan pembentukan Peraturan Direktur Jenderal yang mengatur secara khusus mengenai hal ini, jika dipandang perlu.

Label Berbahasa Indonesia
Sedangkan Permendag No.73/M-DAG/PER/9/2015 memiliki jumlah pasal yang lebih sedikit dibanding aturan sebelumnya. Hal ini lantaran dalam aturan baru memang banyak ketentuan yang dihilangkan. Namun demikian, ada pula beberapa hal yang sebelumnya tidak diatur, kini muncul dalam Permendag ini. Misalnya, dalam peraturan baru ini tak ada lagi ketentuan mengenai Surat Pembebasan Kewajiban Pencantuman Label Dalam Bahasa Indonesia (SPKLBI).

Sebelumnya, SPKLBI menjadi dokumen yang menerangkan bahwa barang yang diproduksi di dalam negeri telah memenuhi ketentuan pencantuman label. Atau, label yang dicantumkan pada barang impor telah memenuhi ketentuan. SPKLBI ini menjadi dokumen pelengkap pabean dalam penyelesaian kepabeanan di bidang impor.

Selain itu, penentuan subjek yang wajib melakukan pencantuman label dalam bahasa Indonesia dalam barangnya. Di dalam Pasal 2 Permendag baru, muncul satu ayat yang menjelaskan siapa pihak yang harus melakukan hal tersebut. Untuk barang produksi dalam negeri, maka produsen yang harus mencantumkan label bahasa Indonesia. Sementara itu, barang asal impor harus diberikan label oleh importir. Dalam Permendag sebelumnya, hanya diatur bahwa pelaku usaha yang melakukan impor bertanggung jawab terhadap barang yang diimpornya.

Terkait dengan mekanisme pencantuman label, secara umum tak ada perbedaan dari peraturan saat ini maupun yang terdahulu. Keduanya mewajibkan pencantuman label secara permanen. Hanya saja, jika dalam Permendag tahun 2013 ada larangan penggunaan label dalam bentuk stiker, kini label yang bisa dilepas (stiker) hanya dinyatakan rusak. 

Pasal 5 Permendag 73/2015 mengatur lebih luas mengenai identitas pelaku usaha yang harus dicantumkan dalam label. Label tak hanya wajib memuat identitas produsen atau importir, tetapi juga harus menyertakan identitas pedagang penumpul. Kewajiban tersebut hanya berlaku jika barang yang diperdagangkan merupakan hasil produksi pelaku usaha mikro maupun pelaku usaha kecil.

Kewajiban pencantuman label menjadi tak berlaku bagi beberapa barang tertentu. Secara limitatif disebutkan dalam Pasal 8 Permendag 73/2015 ada dua jenis barang yang mendapat pengecualian itu. Pertama, barang curah yang dikemas dan diperdagangkan secara langsung di hadapan konsumen. Kedua, barang yang diproduksi oleh pelaku usaha mikro dan pelaku usaha kecil. Namun, jika barang hasil produksi pelaku usaha kecil atau mikro itu dijual dengan mencantumkan merek milik pedagang pengumpul, maka pedagang pengumpul berkewajiban mencantumkan label.

Pasal 14 memberi batasan waktu bagi pedagang pengumpul atau pelaku usaha lain yang terkena kewajiban pencatuman label untuk melakukan penyesuaian. Paling lama satu tahun sejak Permendag 73/2015 berlaku, semua pihak yang harus melakukan pencantuman label wajib menjalankan ketentuan Permendag. Itu artinya, pada 28 September 2016 semua barang yang dijual di Indonesia sudah memiliki label berbahasa Indonesia. Bahkan, pasal 15 menyebut bahwa label juga harus dibuat oleh pelaku usaha yang menurut lampiran Permendag tidak masuk dalam daftar diwajibkan.

Sanksi yang diatur dalam Permendag terbaru pun bisa dikatakan lebih ringan. Sebab, jika pelaku usaha tidak mencantumkan label, atau mencantumkan informasi yang tidak lengkap bahkan menyesatkan konsumen, ancaman sanksinya hanya bersifat administratif. Sebagaimana ditentukan dalam Pasal 13, produsen, importir, atau pedagang pengumpul yang melakukan pelanggaran bisa terkenda pencabutan perijinan di bidang perdagangan atau izin usaha lain.

Sebelumnya, penentuan sanksi atas tindakan itu merujuk pada UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Menurut Pasal 62, pelaku usaha atau pengurus perusahaan yang melanggar, bisa dijerat hukuman penjara paling lama lima tahun. Selain itu, ada pula ancaman pidana denda hingga Rp2 miliar.

Kemendag sendiri terus mensosialisasikan kedua aturan ini kepada masyarakat dan para pelaku usaha, di antaranya para pengusaha ritel yang tergabung dalam Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo). "Kami datang ke pusat-pusat pertokoan di daerah agar peraturan terkait SNI, label berbahasa Indonesia dapat dipahami masyarakat banyak, khususnya pelaku usaha," kata Widodo.

Mengapa SNI Penting
Pada dasarnya tidak semua barang atau jasa wajib berlabel SNI. Namun biasanya, SNI wajib diberlakukan pada hal-hal yang berkaitan dengan kepentingan keselamatan, keamanan, kesehatan masyarakat atau pelestarian fungsi lingkungan hidup dan atau pertimbangan ekonomis. Hal ini sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) No.102 Tahun 2000 tentang Standardisasi Nasional. Pasal 1 angka 3 menjelaskan SNI adalah standar yang ditetapkan oleh Badan Standarisasi Nasional (BSN) dan berlaku secara nasional.  

SNI memang bersifat sukarela untuk ditetapkan oleh pelaku usaha. Namun, dalam hal SNI berkaitan dengan kepentingan keselamatan, keamanan, kesehatan masyarakat atau pelestarian fungsi lingkungan hidup dan/atau pertimbangan ekonomis, instansi teknis dapat memberlakukan secara wajib sebagian atau seluruh spesifikasi teknis dan atau parameter dalam SNI. Hal ini ditegaskan dalam Pasal 12 ayat (3) PP 102/2000. Setidaknya, ada beberapa barang yang wajib SNI antara lain mainan anak-anak, ban, semen, pupuk anorganik tunggal, air minum dalam kemasan, helm, dan lain-lain.

Anggota Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), Huzna Zahir, berpendapat dalam konteks perlindungan konsumen, standar seharusnya punya peran penting. Setidaknya, kata-kata standar muncul dalam pasal-pasal di UU No.8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.

Pasal 7 UU Perlindungan Konsumen menyatakan, di antara Kewajiban Pelaku Usaha adalah (d) menjamin mutu barang dan/atau jasa yang diproduksi dan/atau diperdagangkan berdasarkan ketentuan standar mutu barang dan/atau jasa yang berlaku. Demikian juga, Pasal 8 menyebutkan, pelaku usaha dilarang memproduksi dan/atau memperdagangkan barang dan/atau jasa yang (a) tidak memenuhi atau tidak sesuai dengan standar yang dipersyaratkan dan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Setidaknya, kata Huzna, Indonesia telah menerbitkan tidak kurang dari 6.000 standar, termasuk di dalamnya standar terkait produk pangan, kosmetik, elektronik, alat kebutuhan rumah tangga, otomotif, dan lain sebagainya. Standar-standar ini disusun melalui proses yang tidak sederhana. “Mengingat proses ini, mestinya tidak ada alasan untuk tidak menerapkan standar ini. Pelaku usaha secara otomatis mengikuti standar dalam memproduksi produknya, pemerintah juga melakukan pengawasan berdasarkan standar ini,” kata Huzna.

Pegawasan Pemerintah
Pemberlakuan regulasi tentunya harus diimbangi dengan pengawasan. Di akhir 2015, Kemendag mengumumkan hasil pengawasan semester II 2015, baik yang dilakukan secara berkala maupun secara khusus di berbagai daerah di Indonesia. Hasilnya, 60% dari produk yang diawasi telah sesuai SNI Wajib, petunjuk penggunaan manual dan garansi (MKG), serta pencantuman label berbahasa Indonesia. Dalam periode itu, Kemendag mengidentifikasi 51 pelanggaran SNI, 46 pelanggaran MKG, dan 22 pelanggaran label berbahasa Indonesia.  

“Sekitar 40% dari 295 produk tidak memenuhi ketentuan dan 33 diantaranya masih dalam proses uji laboratorium untuk dilihat kesesuaiannya terhadap SNI,” kata Menteri Perdagangan Thomas Trikasih Lembong.

Untuk meningkatkan pengawasan, pada 10 Februari lalu, Kemendag bersama Badan Pengawasan Obat dan Makananan (BPOM) juga melakukan penandatanganan nota kesepahaman (MoU) dengan ruang lingkup lebih luas, meliputi pengawasan produk dan pembinaan UMKM. Menurut Thomas, pengawasan produk sangat penting untuk melindungi konsumen di era MEA.

Thomas berharap kerjasama dengan BPOM dapat diimplementasikan dengan baik agar tujuan semua pihak tercapai. “Dengan adanya MoU ini diharapkan perlindungan konsumen dapat terselenggara lebih baik, pengamanan pasar dalam negeri lebih optimal dan meningkatkan kemampuan pelaku usaha di era MEA,” ujar Mendag.

Kepala BPOM, Roy Alexander Sparringa, memiliki harapan yang sama. Dia mengatakan akan melakukan pembinaan terhadap semua produk UMKM seperti obat, farmasi, kosmetik, obat tradisional dan pangan yang belum memenuhi ketentuan. Di samping itu, ia berharap Kemendag dapat membantu pemasaran produk dan mamfasilitasi ekspor produk UMKM yang telah memenuhi persyaratan.

“Diperlukan sinergitas pemerintah sesuai dengan kewenangannya masing-masing untuk mendorong UMKM agar dapat bertahan di era persaingan bebas saat ini,” kata Roy.

Pengawasan yang dilakukan Kemendag tak hanya dilakukan di bidang pangan dan farmasi. Peredaran produk baja tidak luput dari pengawasan Kemendag. Pada 23 Maret lalu, Kemendag bersama Bareskrim Mabes Polri serta Bea Cukai, melakukan pengawasan produk baja di Surabaya. “Kami berharap kegiatan ini dapat meminimalisasi ketidakpahaman tentang ketentuan mengenai SNI yang diwajibkan untuk produk baja,” kata Dirjen PTKN Widodo.

Tips Menjadi Konsumen Cerdas
Masuknya beragam jenis produk dari luar negeri sebagai efek dari berlakunya MEA perlu mendapat perhatian dari pihak-pihak terkait. Namun, konsumen tetap memiliki peran penting dalam memilih produk sebelum membelinya. Untuk itu, kecerdasan konsumen diperlukan sebelum memutuskan membeli sebuah produk.

Anggota Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), Huzna Zahir, mengatakan ada beberapa kriteria yang harus diperhatikan konsumen sebelum membeli produk, yaitu teliti sebelum membeli, membeli sesuai kebutuhan, memastikan produk sesuai standar mutu (SNI), memperhatikan label, Manual dan Kartu Garansi Bahasa Indonesia, memperhatikan masa kadaluwarsa, dan menjadikan Produk dalam Negeri sebagai pilihan utama.

“Hal utama yang harus diperhatikan konsumen adalah teliti dengan barang atau produk yang akan dibelinya,” kata Huzna.

Di samping itu, konsumen harus sadar mengenai hak dan kewajibannya. Hak-hak yang perlu diketahui konsumen adalah hak atas kenyamanan, keamanan dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan jasa, hak memilih barang dan jasa serta mendapatkan barang dan jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan, hak atas informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan jasa.

Kemudian, hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan jasa yang digunakan, hak untuk mendapat advokasi, perlindungan dan upaya penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut, hak untuk mendapat pembinaan dan pendidikan konsumen, hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif, hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan atau penggantian, apabila barang dan jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya.

Hal lain yang perlu diperhatikan konsumen adalah kewajiban. Kewajiban konsumen antara lain membaca atau mengikuti petunjuk informasi dan prosedur pemakaian atau pemanfaatan barang dan/atau jasa, demi keamanan dan keselamatan, beritikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang dan/atau jasa, membayar sesuai dengan nilai tukar yang disepakati dan mengikuti upaya penyelesaian hukum sengketa perlindungan konsumen secara patut.

Seperti diketahui, salah satu bisnis yang menjamur belakangan ini adalah bisnis online. Selain mudah dalam cara penjualan, bisnis yang mengandalkan jaringan internet mampu menerobos daerah-daerah di luar jangkauan si penjual. Tapi ingat, ada tiga hal yang harus diperhatikan para pelaku bisnis online, yaitu SNI, Manual Kartu Garansi (MKG), dan label berbahasa Indonesia. Selain itu, harus diperhatikan perizinan lain yang dipergunakan dalam memperdagangkan barang.

Menjamurnya bisnis online ini tak lepas dari perkembangan teknologi dan kreatifitas. Informasi produk dari pelaku usaha berupa iklan di internet tentunya menggoda masyarakat untuk membeli produk yang disajikan. Namun, konsumen harus tetap waspada terhadap kebenaran informasi produk tersebut. “Salah satu caranya tidak mudah percaya dengan janji yang berlebihan,” kata Huzna.

Banyaknya bisnis berbasis online tak jarang menimbulkan sengketa antara konsumen dengan pelaku usaha. Sayangnya, konsumen enggan melaporkan masalahnya kepada pihak yang berwenang. Terkait hal ini, Ditjen PTKN Kemedag mencatat berdasarkan hasil survei Indeks Keberdayaan Konsumen (IKK) tahun 2015 yang dilaksanakan di 13 lokasi di Indonesia, perilaku komplain konsumen masih relatif rendah, yakni sekitar 11, 14 dari nilai 100. Ke depan. Dalam rangka Bulan Pengaduan Konsumen, Kemendag telah meluncurkan nomor khusus berbasis aplikasi whatsapp untuk melayani pengaduan konsumen.

Dengan adanya pelayanan tersebut, Dirjen PTKN Widodo berharap konsumen dapat lebih kritis dan pelaku usaha akan lebih baik dan bertanggungjawab dalam menjalankan usahanya. “Kami harap masyarakat dapat menyampaikan keluhan, pengaduan, dan melaporkan hal-hal penting yang dialami konsumen ke 0853 1111 1010,” pungkas Widodo.

Tags:

Berita Terkait