Kontrak Non Bahasa Indonesia Belum Tentu Tidak ‘Halal’
Utama

Kontrak Non Bahasa Indonesia Belum Tentu Tidak ‘Halal’

Pembuatan kontrak berbahasa asing di Indonesia tidak otomatis melanggar syarat ‘kausa yang halal’. Harus dibuktikan apakah ada kekhilafan atau tidak dalam membuat kontrak.

Mon/Mys
Bacaan 2 Menit

 

Mariana menghimbau advokat tidak perlu khawatir dengan kewajiban kontrak berbahasa Indonesia. “Kewajiban itu berlaku manakala melibatkan pihak asing. UU itu justru sangat membantu para pihak terutama orang Indonesia,” kata Mariana. Lagipula, Pasal 31 UU No. 24 Tahun 2009 tidak menghalangi penggunaan bahasa asing atau bahasa Inggris. “Keduanya merupakan naskah asli,” imbuhnya.

 

Justru, kata Mariana, tidak dipenuhinya Pasal 31 ayat (2) UU tersebut, bisa menjadi alasan bagi salah satu pihak untuk menuntut pembatalan perjanjian lantaran tidak ada perjanjian berbahasa Indonesia. Pembatalan dapat diajukan dengan dasar kesepakatan perjanjian diberikan karena kekhilafan lantaran tidak paham isi kontrak. Misalnya, kontrak dibuat dalam keadaan terpaksa. “Tapi itu tidak otomatis. Harus dibuktikan lebih dulu,” ujar Mariana.

 

Meski menuai banyak kontroversi, Mariana berpendapat UU No. 24 Tahun 2009 ini berlaku sejak diundangkan pada 9 Juli 2009. Tidak perlu menunggu Peraturan Presiden sebagai peraturan pelaksanaannya. Jika terjadi sengketa, para pihak tinggal memajukannya ke pengadilan atau mencari metode penyelesaian lain. “Lawyer biasanya cari celah sehingga yang jelas dibuat tidak jelas. Sementara hakim terlahir untuk menyelesaikan sengketa sehingga harus bisa menciptakan hukum,” kata Mariana.

 

Soal perlu tidaknya Surat Edaran Mahkamah Agung tentang penjelasan Pasal 31 itu, Mariana enggan berkomentar. “Tanyakan saja pada pejabat yang sekarang,” katanya.

Tags: