Kontrak Non Bahasa Indonesia Belum Tentu Tidak ‘Halal’
Utama

Kontrak Non Bahasa Indonesia Belum Tentu Tidak ‘Halal’

Pembuatan kontrak berbahasa asing di Indonesia tidak otomatis melanggar syarat ‘kausa yang halal’. Harus dibuktikan apakah ada kekhilafan atau tidak dalam membuat kontrak.

Mon/Mys
Bacaan 2 Menit
Seminar hukumonline bertajuk Asing". Foto: dok. hukumonline" title="Seminar hukumonline bertajuk "Pembatalan Kontrak Berbahasa
Asing". Foto: dok. hukumonline" src="https://images.hukumonline.com/frontend/lt4b29b2174ab4e/lt4b29b7220c140.jpg" data-fallback="https://static.hukumonline.com/frontend/default/images/kaze/default.jpg" onerror="this.onerror=null;this.src=this.dataset.fallback;" class="img-fluid w-100 h-100 rounded" />
Seminar hukumonline bertajuk "Pembatalan Kontrak Berbahasa <br> Asing". Foto: dok. hukumonline

Sejak munculnya Pasal 31 ayat (1) Undang-Undang No. 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara, Serta Lagu Kebangsaan, timbul keresahan di kalangan advokat dan praktisi hukum. Sudah dua kali seminar yang secara khusus membahas persoalan tersebut, minat para praktisi hukum tetap besar.

 

Keresahan tersebut berkaitan dengan keharusan kontrak menggunakan bahasa Indonesia. Para praktisi hukum khawatir kontrak yang berbahasa asing dapat diajukan pembatalan ke pengadilan. Alasannya, kontrak tidak memenuhi unsur ‘sebab atau kausa yang halal’ sebagaimana ditentukan Pasal 1320 KUH Perdata. Agaknya keresahan itu tak perlu berlanjut.

 

Mantan Wakil Ketua Mahkamah Agung Bidang Yudisial, Mariana Sutadi punya jawaban atas penafsiran pasal itu yang bisa jadi melegakan. Mariana menjelaskan kata ‘causa’ atau kausa secara letterlijk diartikan sebagai sebab. Namun dilihat dari riwayatnya, kata ‘causa’ berarti tujuan perjanjian yang dikehendaki para pihak. Dengan demikian menunjuk pada materi perjanjian. “Itu adalah isi perjanjian, bukan penggunaan bahasanya” kata Mariana dalam diskusi bertajuk “Pembatalan Kontrak Berbahasa Asing” yang diselenggarakan hukumonline, di Jakarta Rabu (16/12).

 

Menurut Mariana, kausa yang tidak halal itu harus merujuk pada hal yang dilarang undang-undang, atau apabila bertentangan dengan kesusilaan dan ketertiban umum. Rujukan itu ditentukan dalam Pasal 1337 KUH Perdata. “Dalam konteks perjanjian berbahasa asing (syarat) itu tidak bisa dipakai (untuk pembatalan),” kata Mariana.

 

Hakim Pengadilan Tinggi DKI Jakarta, Andi Samsan Nganro, yang hadir di acara tersebut punya pendapat senada. Andi Samsan menerangkan kausa tidak halal itu berupa larangan dalam undang-undang yang sifatnya kejahatan. Misalnya, orang membuat perjanjian untuk membunuh. Sementara Pasal 338 KUH Pidana melarang pembunuhan. “Konteksnya untuk kepentingan kemanusiaan,” kata mantan ketua Pengadilan Negeri Jakarta Selatan itu.

 

Pasal 31 UU No. 24/2009

 

(1)  Bahasa Indonesia wajib digunakan dalam nota kesepahaman atau perjanjian yang melibatkan lembaga negara, instansi pemerintah Indonesia, lembaga swasta Indonesia atau perorangan warga negara Indonesia.

(2)  Nota kesepahaman atau perjanjian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang melibatkan pihak asing ditulis juga dalam bahasa nasional pihak asing tersebut dan/atau berbahasa Inggris.

 

Mariana menghimbau advokat tidak perlu khawatir dengan kewajiban kontrak berbahasa Indonesia. “Kewajiban itu berlaku manakala melibatkan pihak asing. UU itu justru sangat membantu para pihak terutama orang Indonesia,” kata Mariana. Lagipula, Pasal 31 UU No. 24 Tahun 2009 tidak menghalangi penggunaan bahasa asing atau bahasa Inggris. “Keduanya merupakan naskah asli,” imbuhnya.

 

Justru, kata Mariana, tidak dipenuhinya Pasal 31 ayat (2) UU tersebut, bisa menjadi alasan bagi salah satu pihak untuk menuntut pembatalan perjanjian lantaran tidak ada perjanjian berbahasa Indonesia. Pembatalan dapat diajukan dengan dasar kesepakatan perjanjian diberikan karena kekhilafan lantaran tidak paham isi kontrak. Misalnya, kontrak dibuat dalam keadaan terpaksa. “Tapi itu tidak otomatis. Harus dibuktikan lebih dulu,” ujar Mariana.

 

Meski menuai banyak kontroversi, Mariana berpendapat UU No. 24 Tahun 2009 ini berlaku sejak diundangkan pada 9 Juli 2009. Tidak perlu menunggu Peraturan Presiden sebagai peraturan pelaksanaannya. Jika terjadi sengketa, para pihak tinggal memajukannya ke pengadilan atau mencari metode penyelesaian lain. “Lawyer biasanya cari celah sehingga yang jelas dibuat tidak jelas. Sementara hakim terlahir untuk menyelesaikan sengketa sehingga harus bisa menciptakan hukum,” kata Mariana.

 

Soal perlu tidaknya Surat Edaran Mahkamah Agung tentang penjelasan Pasal 31 itu, Mariana enggan berkomentar. “Tanyakan saja pada pejabat yang sekarang,” katanya.

Tags: