Konflik agraria dan kasus pertanahan masih banyak terjadi dan sayangnya tidak mudah untuk dituntaskan. Sekjen Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), Dewi Kartika, mengatakan praktik mafia tanah dalam konflik agraria antara lain berupa persekongkolan untuk melakukan manipulasi data lapangan, pemalsuan dokumen, ancaman, intimidasi, teror dan kekerasan, hingga penerbitan hak atas tanah secara sepihak dan bersifat tertutup.
Dewi mencatat sejak dibentuk tahun 2017, Satgas Anti Mafia Tanah mengklaim telah menyelesaikan 180 kasus mafia tanah. Dia yakin kasus tersebut hanya bagian kecil dari kasus yang sebenarnya terjadi di lapangan. Dewi mengkritik pendekatan yang dilakukan dalam pemberantasan mafia tanah masih kasuistik, tebang pilih, dan cenderung bersifat “entertained” sekedar menunjukkan ada perburuan terhadap mafia tanah.
“Tapi sebenarnya yang dilakukan itu tidak menyasar jaringan mafia tanah yang bersifat akut dan struktural, serta tidak menyelesaikan akar masalah,” kata Dewi Kartika dalam konferensi pers secara daring bertajuk “Peluncuran Catatan Akhir Tahun 2021 KPA”, Kamis (6/1/2022). (Baca Juga: KPA Beberkan Penyebab Tumbuh Suburnya Praktik Mafia Tanah)
Mafia tanah adalah kejahatan yang terorganisir, terstruktur, sistematis dan profesional. Praktik mafia tanah tidak pernah bekerja sendiri, modusnya berulang di banyak kasus. Aktor mafia tanah umumnya mereka yang berpendidikan, berjejaring, dan bekerja dengan skala luas dan terorganisir. Para pelaku bekerja sama demi kelangsungan bisnis dan meraup keuntungan besar.
Mengacu dampak yang ditimbulkan, Dewi membagi mafia tanah menjadi kelas Teri dan kelas Kakap. Kasus mafia tanah kelas Teri dapat dilihat dari 6 indikasi. Pertama, pelaku utama, membuat grand design yang terdiri dari pengusaha dan petinggi pemerintah. Mereka berperan memesan serta memenuhi pesanan tanah untuk mencapai ambisi bisnisnya.
Kedua, pelaku di lapangan yang melibatkan oknum advokat, pemuka agama, pemerintah daerah, pemerintah desa, polisi/TNI, dan preman. Mereka berperan menerbitkan rekomendasi desa yang sesuai kebutuhan pengusaha, memberikan izin lokasi sepihak, memalsukan laporan mengenai kondisi penguasaan tanah, memaksa dengan cara kekerasan agar masyarakat menyerahkan tanahnya.
Ketiga, pelaku di ranah administrasi pertanahan, terdiri dari notaris/PPAT yang mengeluarkan akta tanah, AJB, pelepasan hak palsu, menjamin dan mengesahkan tanda tangan, menetapkan kepastian tanggal pembuatan surat di bawah tangan. Keempat, pelaku di kantor pertanahan, melibatkan pejabat kantor pertanahan, panitia A, B, dan C ATR/BPN yang berperan memalsukan pemeriksaan, penelitian dan pengkajian data fisik maupun data yuridis, serta fisik evaluasi tanah telantar.