Kriteria Disabilitas yang Cocok Berkarier di Law Firm
Terbaru

Kriteria Disabilitas yang Cocok Berkarier di Law Firm

Bukan disabilitas yang sering menjadi masalah, tetapi reaksi atau prasangka dari lingkungan dan masyarakat. Poin intinya adalah mampu menguasai lawyering skills.

Normand Edwin Elnizar
Bacaan 3 Menit
Advokat penyandang disabilitas, M. Sigit Ibrahim usai acara pengangkatan advokat KAI, Jum'at (20/5/2022) lalu. Foto Ilustrasi: FKF
Advokat penyandang disabilitas, M. Sigit Ibrahim usai acara pengangkatan advokat KAI, Jum'at (20/5/2022) lalu. Foto Ilustrasi: FKF

Penyandang disabilitas di Indonesia terbukti mampu lulus sarjana hukum hingga mencapai nilai akademik magna cumlaude. Para Partner dari firma hukum besar Indonesia mengakui prestasi itu juga berpotensi mampu berkarier di law firm. Namun, ada kriteria profesional yang perlu diperhatikan tekait keterbatasan khas masing-masing jenis disabilitas.

“Setiap orang terlepas difabel atau tidak, akan memiliki tantangan-tantangan yang berbeda dan saya yakin tantangan itu sesuai kemampuan masing-masing,” kata Lia Alizia, Managing Partner Makarim&Taira (M&T) saat diminta pendapatnya oleh Hukumonline, Senin (13/6/2022).

Lia termasuk yang berpendapat tidak ada batasan kaku soal peluang difabel menjalani karier sebagai lawyer. Diterima atau tidak bekerja di law firm tergantung pada penilaian menyeluruh law firm yang merekrut. Law firm yang akan menentukan apakah kompetensi difabel sarjana hukum memenuhi kriteria personal yang mereka cari.

“Sesuatu yang dianggap kelemahan oleh kebanyakan orang bisa jadi itu kelebihannya. Tapi untuk menilai sesuatu tidak bisa parsial, tapi harus secara menyeluruh,” Lia melanjutkan. Bagi Lia, peluang yang dimiliki difabel atau bukan untuk berkarier di law firm sebenarnya sama saja. Namun, Lia mengakui M&T, yang sudah berdiri sejak tahun 1980, belum pernah merekrut difabel sebagai lawyer atau paralegal.

Baca Juga:

Pandangan optimis serupa disampaikan Mohamed Idwan ('Kiki') Ganie, Founding Partner Lubis Ganie Surowidjojo (LGS). Bagi Kiki, difabel yang sudah berhasil meraih gelar sarjana hukum sangat bisa dan cocok berkarier di law firm. “Karena ternyata mereka bisa kuliah hukum sampai menjadi sarjana hukum saja bisa,” ujar doktor hukum lulusan Jerman ini kepada Hukumonline. Ia mengaku sejak LGS berdiri tahun 1985 pernah mempekerjakan lawyer atau paralegal yang difabel.

“Sudah sering, tetapi sedang tidak ada sekarang. Ini juga termasuk lawyer kami yang alami disabilitas di kemudian hari karena aspek medis,” kata dia.

Bono Daru Adji, Managing Partner Assegaf Hamzah & Partners (AHP) punya keyakinan yang sama. Ia menyatakan AHP punya komitmen khusus untuk memenuhi mandat UU No.8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas. Pasal 53 ayat 2 UU Penyandang Disabilitas menyebut Perusahaan swasta wajib mempekerjakan paling sedikit 1% (satu persen) Penyandang Disabilitas dari jumlah pegawai atau pekerja.

“Kami sangat terbuka merekrut difabel sebagai lawyer. Hanya saja sampai saat ini talenta yang kami pekerjakan baru cocok untuk personel tim HR dan tim General Affairs,” kata Bono kepada Hukumonline. Firma hukum terbesar Indonesia itu belum pernah memiliki lawyer atau paralegal yang difabel meski pernah melakukan rekrutmen khusus untuk mencari pegawai difabel.

Namun, Bono mengaku ada persoalan ekspektasi klien yang mungkin tidak bisa sepenuhnya dipenuhi difabel saat berkarier sebagai lawyer.

“Selama keterbatasan disabilitas bisa diatasi dengan alat bantu teknologi saat ini tentu tidak ada persoalan. Kendala lain mungkin soal pemenuhan ekspektasi kecepatan kerja dari klien sebagai pengguna jasa, kalaupun itu bisa diatasi tentu tidak ada halangan sama sekali,” Bono melanjutkan.

Kompetensi Berkarier di Law Firm

“Apabila seorang almarhum Stephen Hawking saja bisa berguna dan prestasi, lawyer yang difabel mestinya juga bisa. Sering juga bukan disabilitas yang menjadi masalah, tetapi reaksi atau prasangka dari lingkungan dan masyarakat,” kata Kiki. Baginya, selama difabel mampu menguasai lawyering skills, maka bisa cocok saja berkarier di law firm.

Penguasaan lawyering skills itulah yang menjadi kriteria profesional penentu cocok atau tidak menjadi lawyer. Kiki menyebut enam yang utama yakni problem solving (memecahkan masalah), convincing (meyakinkan), communication (komunikasi), negotiation (negosiasi), dispute resolution (penyelesaian sengketa), dan legal risk assessment (penilaian risiko hukum). Oleh karena itu, ia menyebut bentuk keterbatasan apa saja yang masih berpeluang cocok menjalani karier di law firm sangat case by case.

Kiki menyebut berbagai skills itu semuanya nonfisik, sehingga keterbatasan fisik harusnya tidak jadi penghalang, terlebih lagi jika ada alat bantunya. Ia melihat kekurangan pada difabel berarti juga ada potensi kelebihan dibanding kemampuan lawyer lain tanpa disabilitas. “Bagi lawyers secara umum masalah utama untuk sukses bukan apakah ada kekurangan (fisik) atau disabilitas, tetapi sebaliknya apakah ada kelebihan dibandingkan dengan lawyers lain,” katanya.

Erlangga Gaffar, Vice President dari Indonesian Corporate Counsel Association (ICCA) menambahkan pengalamannya bekerja sama dengan rekan in-house lawyer dari negara lain yang difabel. Semua pekerjaan berjalan lancar secara daring. Tidak ada yang terasa berbeda sampai mereka saling bertemu.

“Ketika bertemu secara fisik, saya baru tahu dia ternyata menggunakan kursi roda,” kata in-house lawyer yang pernah lama berkarier di law firm ini. “Saya juga yakin akan tiba masanya di mana rekan yang memiliki keterbatasan visual dan pendengaran juga bisa berkiprah lebih dari sekarang sebagai lawyer atau in-house legal counsel,” Erlangga menambahkan.

Tags:

Berita Terkait