Kumulatifkan Dakwaan dengan TPPU Perkuat Pemidanaan Korporasi
Menjerat Korporasi Jahat:

Kumulatifkan Dakwaan dengan TPPU Perkuat Pemidanaan Korporasi

Jika dakwaan disusun secara kumulatif dengan menggabungkan UU Tipikor dan UU TPPU, maka pidana denda yang dapat dimintakan menjadi jauh lebih besar ketimbang hanya menggunakan UU Tipikor.

Oleh:
NOV
Bacaan 2 Menit
Ilustrasi: HGW
Ilustrasi: HGW
Bagi aparat penegak hukum, khususnya Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), penerapan Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) No.13 Tahun 2016 tentang Tata Cara Penanganan Tindak Pidana oleh Korporasi menjadi salah satu fokus di tahun 2017. Bahkan, PERMA tersebut sudah mulai disosialisasikan di kalangan internal KPK.

Mengacu UU No.31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Piidana Korupsi jo UU No.20 Tahun 2001 (UU Tipikor), jelas korporasi merupakan subjek dalam tindak pidana korupsi. Namun, jika melihat sanksi pidana pokok denda yang dapat dikenakan terhadap korporasi, nilainya relatif lebih kecil ketimbang UU lain yang juga mengatur pemidanaan korporasi.

Tengok saja, sanksi pidana denda dalam UU Tipikor yang dapat dikenakan terhadap korporasi hanya maksimal Rp1 miliar ditambah sepertiga. Berbeda dengan sanksi pidana denda yang diatur dalam UU No.8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) yang jumlahnya bisa mencapai Rp100 miliar. (Baca Juga: Disparitas Sanksi Pidana Korporasi di Berbagai UU)

Selain UU TPPU, masih ada beberapa UU lainnya yang mengatur sanksi pidana denda lebih besar, seperti UU Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme dan UU Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan dan UU Terorisme. Akan tetapi, tidak mungkin KPK menggunakan UU tersebut, karena kewenangan KPK sebatas kasus korupsi dan TPPU yang tindak pidana asalnya adalah korupsi.  

Melihat disparitas sanksi pidana denda dalam UU Tipikor dan UU TPPU, ahli hukum yang juga mantan Kepala Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) Yunus Husein menyarankan agar penegak hukum yang akan menjerat korporasi, tidak hanya menggunakan satu UU. Bila memungkinkan, dapat diakumulasikan pula dengan UU TPPU.

"Kemarin saya pesan, kan saya sudah sosialisasi (PERMA) ke KPK. Kalau mau kuat, jangan hanya pakai satu UU. Kalau dakwaannya kumulatif, bukan hanya hukum materinya yang digabung, tapi juga hukum acaranya. Kekurangan di satu aturan bisa diisi aturan yang lain. Kayak denda di UU Tipikor, perusahaan hanya Rp1 miliar, di UU TPPU Rp100 miliar," katanya saat ditemui Hukumonline.

Yunus berpendapat, jika nantinya dakwaan disusun secara kumulatif dengan menggabungkan UU Tipikor dan UU TPPU, maka pidana denda yang dapat dimintakan menjadi jauh lebih besar ketimbang hanya menggunakan UU Tipikor. "Kalau Rp1 miliar kan tidak begitu besar kalau dibandingkan dengan keuntungan yang mereka peroleh. Sekarang saja, korupsi-korupsi pribadi sudah miliaran." imbuhnya. (Baca Juga: Prinsip Penting dalam Penanganan Kejahatan Korporasi)

Tentu, UU TPPU itu bisa diterapkan sepanjang ada alat bukti yang cukup dan memenuhi unsur tindak pidana pencucian uang. Misalnya, terhadap korporasi yang menerima penempatan uang-uang hasil kejahatan, menerima manfaat/keuntungan dari suatu tindak pidana, serta digunakan untuk menyamarkan asal usul harta kekayaan yang diketahui atau patut diduga bersumber dari tindak pidana.

Yunus menyatakan, korporasi-korporasi semacam ini dapat dijerat dengan Pasal 3, 4, atau 5 UU TPPU. Menurutnya, ada beberapa model korporasi dapat dijerat dengan TPPU, antara lain korporasi yang sengaja dibuat untuk melakukan kejahatan seperti "paper company" dan korporasi yang bukan sengaja dibuat untuk melakukan kejahatan, tetapi dalam mencari untung melakukan pelanggaran hukum.

Senada, pengajar Fakultas Hukum Universitas Trisakti, Yenti Garnasih juga mengatakan, UU TPPU dapat diterapkan secara kumulatif terhadap korporasi yang melakukan pencucian uang sekaligus tindak pidana asal, seperti korupsi. Contohnya, ketika ada korporasi yang memutuskan untuk melakukan penyuapan demi mendapatkan proyek pemerintah.

"Berarti korporasinya melakukan tindak pidana korupsi. Dia mendapat keuntungan. Tidak mungkin dia menyuap, tapi merugi, pasti mendapat keuntungan. Nah, dia sudah menyuap, dapat uang dari negara. Uang dari negara setelah menyuap itu kemana? Dijadikan apa oleh perusahaan itu? Misalnya digunakan untuk membangun. Berarti dia juga kena TPPU-nya," ujarnya.

Namun, sambung Yenti, tidak selamanya korporasi juga melakukan TPPU sekaligus tindak pidana asal. Ada pula korporasi yang hanya melakukan TPPU, sedangkan tindak pidana asal dilakukan oleh perorangan. Ia mencontohkan, suatu partai yang "menghalalkan" penerimaan sumbangan dana, meskipun dana itu bersumber dari hasil korupsi pengurusnya. (Baca Juga: Kisah di Balik Terbitnya Perma Kejahatan Korporasi)

Ia menjelaskan, partai juga merupakan korporasi. Apabila penerimaan dana itu menjadi keputusan partai, maka partai tersebut dapat dikenakan dengan UU TPPU. Terlebih lagi, dalam UU TPPU, korporasi tidak harus betul-betul mengetahui dana itu bersumber dari hasil kejahatan, tetapi cukup dengan "patut menduga" bahwa dana itu bersumber dari hasil tindak pidana.

"Kalau seorang anggota pengurus partai diharuskan menyumbang sekian. Padahal, partai tahu kemampuan orang itu berapa, dia juga menjabat sebagai apa, tetapi bisa memasukan (uang). Berarti kan dia (partai) patut menduga kalau si pejabat itu melakukan korupsi. Hasil korupsinya masuk ke partai. Jadi, tindak pidana korporasi terkait dengan TPPU harus diterapkan," ujarnya.

UU TPPU paling lengkap atur pemidanaan korporasi
Yunus merasa optimistis PERMA No.13 Tahun 2016 akan mempermudah aparat penegak hukum untuk menjerat korporasi. Sebab, selama ini, meski sudah banyak UU yang mengatur pemidanaan korporasi, masih banyak kekosongan hukum acara. Belum lagi, ketidakseragaman pengaturan mengenai subjek, mens rea, serta persyaratan korporasi antara UU yang satu dengan UU lainnya.

Walau begitu, menurut Yunus, sebenarnya UU TPPU adalah UU yang paling lengkap mengatur pemidanaan korporasi. "Termasuk (pengaturan), kalau perusahaan tidak bisa membayar (denda), pengurusnya bisa kena. Bahkan, bisa kena kurungan pengganti. Paling lengkap itu. (UU) Yang lain tidak ada mengejar sampai pengurusnya yang dipenjara kalau korporasinya tidak bisa bayar," tuturnya.

Demikian pula dengan Yenti. Ia menyatakan, UU TPPU sudah sangat lengkap mengatur pertanggungjawaban korporasi. Mulai dari ketentuan umum yang mengatur korporasi sebagai subjek TPPU, bentuk-bentuk pertanggungjawaban korporasi, siapa perwakilan korporasi yang harus diundang ke pengadilan, hingga sanksi yang dapat dijatuhkan kepada korporasi. (Baca Juga: Lika-Liku Menarik Pertanggungjawaban Korporasi dalam Kasus Korupsi)
UU TPPU
Pasal 1
Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan :
9. Setiap Orang adalah orang perseorangan atau Korporasi.

14. Personil Pengendali Korporasi adalah setiap orang yang memiliki kekuasaan atau wewenang sebagai penentu kebijakan Korporasi atau memiliki kewenangan untuk melakukan kebijakan Korporasi tersebut tanpa harus mendapat otorisasi dari atasannya.
Pasal 6
(1) Dalam hal tindak pidana Pencucian Uang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3, Pasal 4, dan Pasal 5 dilakukan oleh Korporasi, pidana dijatuhkan terhadap korporasi dan/atau Personil Pengendali Korporasi.

(2) Pidana dijatuhkan terhadap Korporasi apabila tindak pidana Pencucian Uang:
a. dilakukan atau diperintahkan oleh Personil Pengendali Korporasi;
b. dilakukan dalam rangka pemenuhan maksud dan tujuan Korporasi;
c. dilakukan sesuai dengan tugas dan fungsi pelaku atau pemberi perintah; dan
d. dilakukan dengan maksud memberikan manfaat bagi Korporasi.
Pasal 7
(1) Pidana pokok yang dijatuhkan terhadap Korporasi adalah pidana denda paling banyak Rp100 miliar

(2) Selain pidana denda sebagaimana dimaksud pada ayat (1), terhadap Korporasi juga dapat dijatuhkan pidana tambahan berupa :
a. pengumuman putusan hakim;
b. pembekuan sebagian atau seluruh kegiatan usaha Korporasi;
c. pencabutan izin usaha;
d. pembubaran dan/atau pelarangan Korporasi;
e. perampasan aset Korporasi untuk negara; dan/atau
f. pengambilalihan Korporasi oleh negara.
Pasal 9
(1) Dalam hal Korporasi tidak mampu membayar pidana denda sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1), pidana denda tersebut diganti dengan perampasan Harta Kekayaan milik Korporasi atau Personil Pengendali Korporasi yang nilainya sama dengan putusan pidana denda yang dijatuhkan.

(2) Dalam hal penjualan Harta Kekayaan milik Korporasi yang dirampas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak mencukupi, pidana kurungan pengganti denda dijatuhkan terhadap Personil Pengendali Korporasi dengan memperhitungkan denda yang telah dibayar.
Pasal 82
Dalam hal tindak pidana dilakukan oleh Korporasi, panggilan disampaikan kepada pengurus di tempat tinggal pengurus atau di tempat pengurus berkantor.
Tags:

Berita Terkait