LBH Jakarta Hopeless atas Kinerja Mahkamah Agung
Berita

LBH Jakarta Hopeless atas Kinerja Mahkamah Agung

Dari sisi pemberantasan mafia peradilan, kinerja Mahkamah Agung dinilai belum banyak mengalami perubahan sepanjang 2004. Ke depan, perlu lebih mengedepankan asas transparansi.

Mys
Bacaan 2 Menit
LBH Jakarta <i>Hopeless</i> atas Kinerja Mahkamah Agung
Hukumonline

 

Kenyataan yang sama tentu tidak bisa ditemukan di MA. Meskipun secara konsep sidang di MA bersifat terbuka untuk umum, tidak diketahui kapan para hakim agung bersidang karena informasi tentang daftar perkara yang mau disidangkan tidak tersedia sama sekali. Akibatnya, ada perkara yang sudah diputus, kejaksaan selaku eksekutor baru menerima salinan putusannya satu tahun kemudian.

 

Sebagai perbandingan MK dengan MA, LBH memberi catatan khusus terhadap perkara uji materiil SK Mendiknas No. 153/U/2003. Sejak didaftarkan 8 April 2004, permohonan uji materiil itu belum juga diputus oleh MA. Padahal materi SK tersebut mendesak untuk segera diputuskan nasibnya. Diyakini bahwa sejumlah permohonan uji materiil lain bernasib sama dengan SK Mendiknas. Meskipun sudah ada PERMA No. 1 Tahun 1999 tentang Hak Uji Materiil, LBH menilai kinerja MA di bidang pengujian peraturan di bawah Undang-Undang ini tumpul.

Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta menaruh harapan besar pada Mahkamah Konstitusi, sebaliknya begitu hopeless pada kinerja Mahkamah Agung (MA). Masih belum tuntasnya persoalan mafia peradilan dan rendahnya kapasitas sebagian hakim menjadi alasan LBH pesimis terhadap lembaga tertinggi badan peradilan itu. Mafia peradilan belum sepenuhnya bisa dibersihkan dari lembaga peradilan, ujar Uli Parulian Sihombing, Ketua LBH Jakarta.

 

Sikap pesimis terhadap kinerja MA merupakan salah satu butir penting dalam catatan akhir tahun LBH Jakarta yang dilansir, Senin (27/12) kemarin. Dalam catatan berjudul Hujan Impunitas bagi Pelanggar HAM, LBH melaporkan telah menangani 1.097 kasus sepanjang 2004, dengan jumlah 32.370 orang yang berhasil dibantu.

 

Tema impunitas itu sengaja diambil berdasarkan kasus-kasus yang ditangani LBH. Dari analisis laporan itu terungkap bahwa impunitas tidak hanya terjadi pada pelanggaran HAM berat, tetapi juga meluas ke pelanggaran hukum. Salah satunya adalah kriminalisasi mereka yang memperjuangkan hak-hak dasar masyarakat. Ironisnya, pengadilan sebagai benteng keadilan pun ikut menyuburkan kriminalisasi para human rights defenders tersebut.

 

Uli mengakui bahwa mafia peradilan terjadi karena kontribusi banyak pihak, bukan hanya lembaga peradilan, tetapi juga kejaksaan, polisi dan advokat. Tetapi sebagai lembaga pemutus perkara MA memegang peran penting. Mahkamah Agung pun sebenarnya sudah mengajukan gagasan mafia peradilan, tetapi hasilnya seperti yang diharapkan. Semangat ada, tetapi realisasinya belum tampak jelas, tandas Hermawanto, pengacara publik LBH.

 

Dalam kaitan dengan penerapan transparansi, LBH Jakarta mengharapkan agar MA meniru kinerja Mahkamah Konstitusi (MK). Mahkamah yang dipimpin Prof. Jimly Asshiddiqie itu telah memberi harapan baru terhadap lembaga peradilan. Sidang-sidang di MK begitu transparan. Putusan pun bisa segera diperoleh usai dibacakan oleh hakim konstitusi. Sehingga tidak membuka peluang kolusi antara pencari keadilan dan panitera atau staf MK.

Halaman Selanjutnya:
Tags: