LBH Jakarta Sampaikan Catatan Negatif untuk 4 Tahun Gubernur Anies
Terbaru

LBH Jakarta Sampaikan Catatan Negatif untuk 4 Tahun Gubernur Anies

Mulai persoalan kualitas udara; air bersih; banjir; penataan banjir; bantuan hukum; tempat tinggal; pesisir dan pulau-pulau kecil; penanganan pandemi; penggusuran paksa; hingga reklamasi.

Ady Thea DA
Bacaan 6 Menit

Selain itu, Arif melihat Pemprov DKI Jakarta juga cenderung nekat melakukan pelonggaran yang terlalu dini dengan pembukaan mal pada Agustus 2021 yang belakangan telah mengizinkan anak di bawah 12 tahun hingga pelaksanaan Pembelajaran Tatap Muka Terbatas (PTMT) yang dilakukan terburu-buru tanpa syarat selesainya vaksinasi dan positivity rate Jakarta masih di atas 5%.

Hal ini diperburuk dengan buruknya kinerja pengawasan Pemprov DKI di sektor pengawasan fasilitas kesehatan, ketenagakerjaan dan pendidikan terbukti dengan banyaknya pengaduan masyarakat yang tidak ditindaklanjuti. “Di situasi kedaruratan kesehatan ini, Pemprov DKI belum memprioritaskan aspek kesehatan masyarakat ketimbang pertumbuhan ekonomi,” lanjut Arif.

Kesembilan, penggusuran paksa masih terjadi di Jakarta. Perbuatan tersebut dijustifikasi dengan menggunakan ketentuan peraturan perundang-undangan yang tidak memiliki perspektif HAM. Arif menyebut Peraturan Gubernur DKI Nomor 207 Tahun 2016 Tentang Penertiban Pemakaian/Penguasaan Tanah Tanpa Izin Yang Berhak, merupakan salah satu ketentuan yang digunakan untuk melakukan penggusuran dengan dalih memberikan kepastian hukum pelaksanaan penertiban terhadap pemakaian/penguasaan tanah tanpa izin yang berhak.

“Pergub yang ditetapkan pada masa Gubernur Basuki T. Purnama tersebut justru dipertahankan dan digunakan hingga saat ini oleh Pemprov DKI Jakarta dalam beberapa kasus penggusuran paksa yang menimpa warga Menteng Dalam, Pancoran Buntu II, Kebun Sayur, Kapuk Poglar, Rawa Pule, Guji Baru, dan Gang Lengkong Cilincing,” ungkap Arif.  

Sepuluh, reklamasi terus berlanjut. Arif mencatat Anies tidak konsisten menghentikan reklamasi. Misalnya, pada tahun 2018, Anies menerbitkan Peraturan Gubernur Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor 58 Tahun 2018 tentang Pembentukan, Organisasi, dan Tata Kerja Badan Koordinasi Pengelolaan Reklamasi Pantai Utara Jakarta (Pergub DKI 58/2018) yang menjadi indikasi reklamasi masih akan berlanjut dengan pengaturan mengenai perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan reklamasi serta penyebutan pengembang reklamasi sebagai “perusahaan mitra”. 

Persoalan lain terkait reklamasi muncul ketika pencabutan izin 13 pulau reklamasi dilakukan secara tidak cermat dan segera. Pemprov DKI Jakarta tidak memperhatikan syarat-syarat yang diperlukan untuk mencabut izin pelaksanaan reklamasi bagi perusahaan-perusahaan. Selain itu, pencabutan tanpa didahului transparansi dan Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS).

Ketiadaan kajian tersebut terlihat kompromistis karena Anies tetap melanjutkan 3 pulau lainnya. Alhasil, gelombang gugatan balik dari pengembang pun terjadi. Pemprov DKI Jakarta menang di tingkat Mahkamah Agung untuk gugatan Pulau H. Namun, kalah di gugatan lain seperti Pulau F dan Pulau G. Ketidakcermatan Pemprov dalam pencabutan izin tentunya mengancam masa depan penghentian reklamasi dan menjadikan pencabutan izin reklamasi sebagai gimmick(mencari perhatian, red) belaka.

Tags:

Berita Terkait