Legislator Ini Beberkan Perdebatan Materi RUU KUHP
Terbaru

Legislator Ini Beberkan Perdebatan Materi RUU KUHP

“Karena kita (DPR) mau membuat KUHP yang mengandung lokal value yang ada di Indonesia. Maka kami harus mengimbangi.”

Oleh:
Ady Thea DA
Bacaan 2 Menit
Anggota Komisi III DPR Arsul Sani dalam 'Seminar Nasional Organisasi Advokat Membahas Rancangan KUHP 2022: Mewujudkan KUHP Baru Yang Mampu Menciptakan Keadilan', Rabu (3/8/2022). Foto: ADY
Anggota Komisi III DPR Arsul Sani dalam 'Seminar Nasional Organisasi Advokat Membahas Rancangan KUHP 2022: Mewujudkan KUHP Baru Yang Mampu Menciptakan Keadilan', Rabu (3/8/2022). Foto: ADY

RUU KUHP merupakan salah satu RUU yang sangat lama pembahasannya sehingga tak kunjung terbit. Sebab, substansi atau materi yang diatur RUU KUHP memuat banyak hal terkait tindak pidana yang menuai pro dan kontra di masyarakat. Wakil Ketua MPR sekaligus anggota Komisi III DPR, Arsul Sani, mengatakan lembaganya kerap dianggap tidak mendengarkan “suara rakyat” dalam membahas RUU KUHP. Padahal, tidak mudah untuk menyerap aspirasi lebih dari 200 juta penduduk Indonesia.

Arsul membeberkan bagaimana parlemen mengakomodir masukan masyarakat untuk RUU KUHP. Misalnya, kalangan masyarakat sipil menganggap RUU KUHP menyebabkan over kriminalisasi. Bahkan masuk ke ranah privasi warga negara dengan mengatur delik kesusilaan, seperti pasal kohabitasi atau kumpul kebo, perbuatan cabul yang diperluas menyasar LGBT. Ada juga kelompok masyarakat yang berharap berbagai ketentuan pidana itu diatur.

“Karena kita (DPR) mau membuat KUHP yang mengandung lokal value yang ada di Indonesia. Maka kami harus mengimbangi (dalam mengakomodir berbagai masukan masyarakat, red),” kata Arsul Sani dalam “Seminar Nasional Organisasi Advokat Membahas Rancangan KUHP 2022: Mewujudkan KUHP Baru Yang Mampu Menciptakan Keadilan”, Rabu (3/8/2022).

Baca Juga:

Begitu juga pro dan kontra tentang pengaturan living law di kalangan profesor hukum pidana. Dalam mengakomodir pandangan yang saling berbeda itu, maka penerapan living law diatur ketat, misalnya secara tertulis dalam peraturan daerah atau dibuat Kompilasi Hukum, seperti Kompilasi Hukum Indonesia (KHI).

“Pengaturan ketat living law diperlukan agar penegak hukum kita mempunyai pedoman yang jelas. Selama ini saja yang sudah jelas sering dibuat tidak jelas. Apalagi jika hukum yang diatur tidak tertulis. Ini tantangan yang kita hadapi,” ujar politisi PPP itu.

Kemudian soal pasal penyerangan harkat dan martabat Presiden juga menuai perdebatan publik. Arsul mengatakan ada pandangan yang merujuk putusan MK, sehingga pasal tersebut tidak perlu diatur lagi dalam RUU KUHP. Kemudian dianggap mengganggu kebebasan berekspresi dalam ruang demokrasi.

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait