Legislator Ini Dorong Terwujudnya Kodifikasi Hukum Acara Penanganan Sengketa Pemilu
Terbaru

Legislator Ini Dorong Terwujudnya Kodifikasi Hukum Acara Penanganan Sengketa Pemilu

Karena selama ini penanganan sengketa pemilu di tiga lembaga berjalan dengan hukum acaranya masing-masing. Berlarut-larutnya penanganan sengketa pemilu menimbulkan ketidakpastian hukum.

Oleh:
Rofiq Hidayat
Bacaan 3 Menit
Ilustrasi pemilu. Ilustrator: BAS
Ilustrasi pemilu. Ilustrator: BAS

Penyelenggaraan Pemilihan Umum 2024 secara serentak mulai memasuki tahap awal yakni pendaftaran, verifikasi dan penetapan peserta pemilu untuk pemilihan anggota DPR, DPRD, DPD, presiden dan wakil presiden. Pada tahun yang sama, juga ada pemilihan kepala daerah. Dalam praktik, penyelenggaraan pemilu berpotensi terjadinya sengketa baik sengketa dalam tahap pencalonan maupun perolehan hasil suara dengan melibatkan kewenangan beberapa lembaga.

Sebagian pihak menilai mekanisme penyelesaian sengketa pemilu yang berlaku selama ini dinilai mengandung proses yang cukup panjang dan terkesan berlarut-larut. Untuk itu, diusulkan adanya kodifikasi hukum acara penyelesaian sengketa pemilu agar lebih efektif dan efisien dalam pelaksanaannya. “Kita memerlukan satu kodifikasi hukum acara penyelesaian sengketa pemilu secara utuh,” ujar anggota Komisi II DPR Muhammad Rifqinizamy Karsayuda dalam sebuah diskusi di Komplek Gedung Parlemen, pekan lalu.

Rifqi melihat dalam praktik penanganan sengketa pemilu selama ini ditangani tiga lembaga peradilan yakni Mahkamah Agung (MA), Mahkamah Konstitusi (MK), dan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) dalam hal kode etik. Seluruh proses penanganan sengketa pemilu di tiga lembaga tersebut memiliki hukum acaranya masing-masing.

“Dalam praktik, hasil putusan penanganan sengketa pemilu di ketiga lembaga tersebut belum menghasilkan/menciptakan kepastian hukum terutama dalam hal kepastian waktu penyelesaian,” kata Rifqi.   

Dia berpendapat dalam hal penegakan hukum kepemiluan, perlu memastikan keadilan pada satu pihak, tapi juga memastikan kepastian hukum pada pihak lain. “Karena kalau sampai sengketa berlarut-larut, menimbulkan ketidakpastian hukum,” tegasnya.

Dia mencontohkan penanganan sengketa hasil perolehan suara dalam pemilihan kepala daerah di sejumlah kabupaten/kota yang berujung di MK. Misalnya dalam putusannya, MK memerintahkan penyelenggara pemilihan kepala daerah agar dilakukannya pemungutan suara ulang (PSU) beberapa kali.

Padahal, proses PSU pertama, kedua, dan ketiga membutuhkan waktu. Proses seperti ini malah ujungnya menimbulkan ketidakpastian dan ketidakadilan. Misalnya, berpotensi memangkas periodesasi masa jabatan yang semestinya menjadi hak bagi pejabat politik yang memenangkan kontestasi pemilu kepala daerah tersebut. “Masa jabatan pejabat politik telah diatur dalam konstitusi dan peraturan perundang-undangan,” kata dia.

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait