Legislator Ini Tolak Sentralisasi Bidang Pendidikan dalam RUU Cipta Kerja
Utama

Legislator Ini Tolak Sentralisasi Bidang Pendidikan dalam RUU Cipta Kerja

Karena itu, klaster pendidikan diminta dikeluarkan dari draf RUU Cipta Kerja karena semangatnya komersialisasi dan liberalisasi Pendidikan yang bertentangan dengan konstitusi.

Rofiq Hidayat
Bacaan 4 Menit

“Hal ini tidak hanya menafikan kemajemukan dan luas geografis, tapi juga menabrak ketentuan Pasal 18, Pasal 18 A dan Pasal 18 B UUD 1945 yang menghormati prinsip otonomi daerah sebagai amanat reformasi,” ujarnya.

Bagi DPD, kata Prof Sylviana, mencabut norma pendidikan dari draf RUU Cipta Kerja  menjadi momentum bagi semua komponen bangsa agar fokus pada konsep pendidikan terbaik tanpa mencapuradukkan dimensi bisnis atau kemudahan perizinan berusaha. Sebab, kata dia, pendidikan mengemban misi mulia untuk membangun karakter, mental, dan jati diri bangsa. “Bukan semangat komersialisasi, apalagi liberalisasi pendidikan,” ujar mantan Walikota Jakarta Pusat Periode 2008-2010 itu.

Melenceng dari konstitusi

Terpisah, Wakil Ketua Komisi X DPR Abdul Fikri Faqih mengatakan klaster pendidikan sudah sepatutnya dicabut seluruhnya dari substansi RUU Cipta Kerja. Pasalnya, semua substansi  terkait pengaturan pendidikan dalam RUU Cipta Kerja melenceng dari hakikat pendidikan dalam konstitusi.

Dia menduga ada unsur paksaan pendidikan menjadi lebih liberal dengan mengubah  banyak pasal dalam sejumlah UU di sektor pendidikan. Padahal, pendidikan menjadi hak dasar setiap warga negara sebagaimana dijamin konstitusi. “Masa depan bangsa ini jangan dipertaruhkan hanya dengan segelintir pasal dalam RUU Cipta Kerja,” sindirnya.

Fikri lantang menolak keras berbagai bentuk justifikasi atas liberalisasi pendidikan. Apalagi dikuatkan dengan pengaturan setingkat UU, seperti RUU Cipta Kerja. Baginya, pembukaan UUD 1945 tegas menyebut kewajiban negara mencerdaskan kehidupan bangsa melalui penyelenggaraan sistem pendidikan nasional, bukan sebaliknya melepasnya menjadi komersil.

Kewajiban pemerintah tertuang dalam Pasal 31 ayat (3) UUD 1945 yang menyebutkan “Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional, yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa yang diatur dengan undang-undang”. Sementara ayat (5) menyebutkan “Pemerintah memajukan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan menunjang tinggi nilai-nilai agama dan persatuan bangsa untuk kemajuan peradaban serta kesejahteraan umat manusia”.

Politisi Partai Keadilan Sejahtera itu berpendapat draf RUU Cipta Kerja buatan pemerintah ini melanggar kodrat konstitusi yakni mewajibkan institusi pendidikan mengurus izin berusaha sebagaimana tertuang dalam Pasal 68 draf RUU Cipta Kerja. Kata lain, rumusan norma Pasal 68 RUU Cipta Kerja memaksa institusi pendidikan berbasis masyarakat diwajibkan memiliki izin usaha.

Dia menilai, Pasal 68 ayat (5) terkait Pasal 20/2003 dalam draf RUU Cipta Kerja menjadi perdebatan krusial. Sebab, Pasal 68 ayat (5) UU 20/2003 diubah, sehingga redaksionalnya menjadi “Penyelenggaraan satuan pendidikan formal dan nonformal yang diselenggarakan oleh masyarakat wajib memenuhi Perizinan Berusaha dari Pemerintah Pusat.”

Tak hanya itu, bagi yang melanggar ketentuan itu atau tak mengantongi izin, dikenankan sanksi pidana kurungan 10 tahun penjara dan denda Rp1 miliar. Bagi Fikri, rumusan pasal tersebut malah menambah unsur pemaksaan secara hukum, khususnya bagi pesantren, madrasah diniyah, serta pendidikan nonformal berbasis masyarakat lainnya yang telah aktif beroperasi dan diharuskan memiliki izin usaha.

Begitupula perombakan UU 14/2005 dalam RUU Cipta Kerja. Menurutnya pasal-pasal dalam RUU Cipta Kerja amat diskriminatif terhadap guru dan dosen dalam negeri. Soalnya guru dan dosen lokal diwajibkan tersertifikasi. Sebaliknya, memberikan “karpet merah” bagi pengajar asing. “Ini benar benar RUU alien,” kritiknya.

Tags:

Berita Terkait