Legislator Ini Usul Penyusunan PP dengan Metode Omnibus Law
RUU Cipta Kerja:

Legislator Ini Usul Penyusunan PP dengan Metode Omnibus Law

Agar tidak terlampau banyak terbitnya PP dalam RUU Cipta Kerja. Namun, pemerintah masih berupaya mengarah pada upaya mengintegrasikan dengan mengklaster jenis PP seragam atau kodifikasi.

Rofiq Hidayat
Bacaan 4 Menit
Gedung DPR. Foto: RES
Gedung DPR. Foto: RES

Rancangan Undang-Undang (RUU) Cipta Kerja masih terus dibahas antara pemerintah dan DPR. Sejak awal draf RUU Cipta Kerja hingga pembahasan setiap substansi yang diatur tak luput dari persoalan dan menimbulkan berbagai pertanyaan dari sejumlah pihak termasuk dari kalangan DPR sendiri. Salah satunya hal yang menjadi sorotan yakni delegasi banyaknya pembentukan Peraturan Pemerintah (PP) yang diamanatkan RUU Cipta Kerja.         

Anggota Panitia Kerja (Panja) RUU Cipta Kerja, Benny Kabur Harman mengusulkan agar pembentukan sejumlah PP sebagai delegasi atau amanat RUU Kerja hendaknya juga menggunakan metode omnibus law. Sebab, melihat draf RUU Cipta Kerja, ada sekitar puluhan PP yang harus dibuat pemerintah.  

“Saya usulkan dan tantang, jangan UU-nya saja yang menggunakan omnibus law, tapi PP-nya juga omnibus law. Namun menjadi lebih praktis RUU Cipta Kerja hanya memiliki satu PP sebagai PP ‘sapu jagat’,” ujar anggota Panja RUU Cipta Kerja Benny Kabur Harman dalam rapat dengan pemerintah dan DPD dalam pembahasan RUU Cipta Kerja, Senin (28/9/2020) kemarin. (Baca Juga: Menyoal Aturan Penyelarasan Peraturan di Bawah UU dalam RUU Cipta Kerja)  

Usulan ini merespon rumusan norma Pasal 173 huruf a draf RUU Cipta Kerja yang menyebutkan, Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku: a. Peraturan Pemerintah yang mengatur norma, standar, prosedur, dan kriteria Perizinan Berusaha wajib ditetapkan paling lama 1 (satu) bulan.”

Benny menilai pembuatan PP oleh pemerintah dalam waktu satu bulan hal yang mustahil. Sebab, faktanya dalam sejumlah UU yang mengamanatkan pembentukan PP oleh pemerintah banyak tidak rampung atau molor penyelesaiannya. Namun, rumusan norma Pasal 173 huruf a RUU Cipta Kerja ini semestinya dijadikan momentum agar pemerintah bergerak cepat. Apalagi, pemerintah sangat berkepentingan dengan implementasi RUU Cipta Kerja ini.

“Kalau nanti ganti pejabat repot, tidak jadi lagi PP-nya. Jadi momentum ini harus digunakan. Tapi, kalau bisa satu PP sapu jagat. Jangan sampai molor-molor karena alasan ini itu. Prestasi bukan melihat seberapa banyak UU dibuat, tapi seberapa besar UU applicable bisa dilaksanakan,” ujar politisi partai Demokrat itu.

Selain itu, ada rumusan norma baru dari Pasal 173 huruf a RUU Cipta Kerja ini yaitu “Pemerintah dalam melaksanakan ketentuan ini selambat-lambatnya 30 hari atau satu bulan setelah RUU ini disahkan menjadi UU oleh presiden.

“(Pertanyaannya, red) Kenapa, tidak PP-nya disahkan lebih dulu?”

Menurutnya, PP yang terdapat dalam RUU Cipta Kerja terdapat dua jenis. Pertama, PP yang mengatur norma baru. Kedua, PP yang mengatur norma yang sudah dibuat sebelumnya dan diubah dengan rumusan baru. Sebab, dalam norma dalam UU yang lama pun telah banyak aturan turunannya. Terdapat 82 UU yang diubah yang juga terdapat aturan pelaksananya.

“Untuk mencegah agar pembuatan PP tidak terlalu lama, pemerintah cukup satu kali membuat PP dengan menggunakan metode omnibus law,” tegasnya.

Kodifikasi atau klaster

Menanggappi persoalan ini, Staf Kementerian Koordinator (Kemenko) Perekonomian Elen Setiadi mengakui persoalan ini menjadi refleksi dalam penyusunan PP amanat berbagai UU yang jangka waktunya terlampau Panjang, sehingga ujungnya molor penerbitannya. “Bahkan bisa tahunan baru rampung pembuatan PP sebuah UU. Repotnya, setelah sebuah RUU disahkan menjadi UU, terjadi pergantian pejabat. Alhasil proses penyusunan menjadi relating Panjang,” kata dia.

Belajar dari pengalaman sebelumnya dalam pembuatan PP, pemerintah sudah memiliki metode membuat peraturan pelaksana RUU Cipta Kerja. Bahkan, sebelum draf RUU Cipta Kerja diajukan ke DPR, pemerintah sudah menyusun pula PP dari RUU ‘sapu jagat’ itu secara pararel. “Harapannya ketika DPR menyetujui substansi RUU, kementerian/lembaga hanya menyesuaikan dengan rumusan norma yang ada. Makanya, kami optimis bisa selesai dalam jangka waktu 1 bulan,” ujarnya.

Pemerintah pun sudah mengarah pada sistem kodifikasi, meski belum dapat melakukan kodifikasi sesuai makna sesungguhnya. Elen ingat betul ada sekitar 550 PP, 34 PP diantaranya beragam jenis. Terbanyak PP mengatur norma standar prosedur dan kriteria (NSPK) sebagai kunci dari aturan turunan RUU Cipta Kerja.

“Karena ini menggunakan metode baru, pasti belum sempurna seperti harapan semua. Esensinya, pemerintah, kementerian/lembaga terkait tetap optimis bisa melakukan PP NSPK dalam waktu satu bulan,” katanya.

Soal PP menggunakan omnibus law, Elen menegaskan praktik penyusunanya sudah mengarah pada klaster. Seperti PP NSPK pengaturan turunannya bakal satu, sehingga bakal jauh lebih tebal. Dengan begitu, ada upaya mengintegrasikan PP yang ada dalam RUU Cipta Kerja karena cakupan materi muatan RUU Cipta Kerja sangat luas.

“Suatu saat kita mau ada konvergensi, kalau ada yang sama akan kita integrasikan. Nanti arahnya apakah namanya kodifikasi atau klaster bisa jadi arahnya ke sana dan tidak akan banyak lagi PP-nya,” ujarnya.

Anggota Panja dari Fraksi Golkar, Firman Subagyo menilai penyusunan PP dari RUU Cipta Kerja tidaklah terlampau sulit. Apalagi PP dari RUU Cipta Kerja mengacu pada UU eksisting yang hanya mengubah PP sebelumnya. “Ini akan menjadi role model di kemudian hari, tidak ada alasan membuat PP susah. Ini soal niat pemerintah saja,” ujarnya.

Sementara Wakil Ketua Panja RUU Cipta Kerja Achmad Baidowi mengatakan masukan dari berbagai anggota menjadi upaya mencari cara dalam membenahi aturan. Namun yang pasti, PP yang bakal dibuat pemerintah dilakukan setelah RUU Cipta Kerja disahkan dan dicatat dalam lembaran negara oleh pemerintah.

Tags:

Berita Terkait