Lemahnya Posisi Konsumen Perumahan dalam Perkara Kepailitan
Utama

Lemahnya Posisi Konsumen Perumahan dalam Perkara Kepailitan

Praktiknya selama ini, konsumen dirugikan dalam hal pengembang/pelaku usaha dinyatakan pailit. Putusan pengadilan perlu memperhatikan dan menentukan kejelasan hak-hak para kreditor termasuk di dalamnya konsumen sebagai kreditor konkuren (konsumen).

Fitri Novia Heriani
Bacaan 2 Menit

Ketua Umum Asosiasi Kurator dan Pengurus Indonesia (AKPI), Jimmy Simanjuntak, menjelaskan bahwa konsumen perumahan berada di kreditur konkuren. Kreditur konkuren ini adalah kreditur yang tidak memegang jaminan apapun. Biasanya para kreditur adalah rekan bisnis yang barang atau jasanya belum dibayar, karenanya kreditur konkuren biasanya juga berada pada prioritas pembayaran utang yang terakhir. (Baca Juga: Bantahan Pemohon Pailit Terkait Klaim Sentul City)

Jimmy melanjutkan, rata-rata pembelian satuan rumah oleh konsumen didasarkan pada Perikatan Perjanjian Jual Beli (PPJB). Namun di sini letak persoalannya. Dalam tatanan hukum di Indonesia, letak kekuatan PPJB masih dipertanyakan karena kepemilikan sah atas benda tidak bergerak berdasarkan UU Pokok Agraria dan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah dinyatakan dalam bentuk sertifikat.

“Karena bukti kepemilikan berdasarkan UU terhadap benda tidak bergerak adalah sertifikat, selama tidak ada atau tidak bisa dicatatkan sebagai kreditur preferen,” jelas Jimmy.

Sementara pihak perbankan selaku pemilik sertifikat yang telah diagunkan oleh pengembang, tercatat sebagai kreditur separatis, di mana kreditur separatis akan mendapatkan pembayaran terlebih dahulu karena memiliki jaminan kebendaan. Bahkan pihak bank dipersilakan untuk menjual jaminan yang mereka miliki.

Situasi ini menjadi dilematis. Di satu sisi konsumen sudah membayar lunas atau dalam cicilan, namun di sisi lain sertifikat atas tanah dan rumah yang dibayar oleh konsumen dimiliki oleh bank. Sehingga persoalan ini tidak hanya sekadar membahas hak dan kewajiban. Selama cara berpikir UU belum diubah, maka hak konsumen perumahan dalam perkara pailit akan terus menimbulkan pro dan kontra.

“Kalau begini, pusing kurator apalagi dengan harta yang tidak seberapa dan prinsip keadilan harus ditempatkan kepada kreditur sesuai porsinya. Alat ukurnya ada di undang-undang. Selama cara berpikir undang-undang belum diubah, tidak bisa. Undang-undang harus komprehensif dan saling diselaraskan satu sama lain,” imbuhnya.

Dalam praktiknya, lanjut Jimmy, hak konsumen perumahan tidak menjadi prioritas dalam kasus pailit lantaran alas hak konsumen masih berupa PPJB. Konsumen masih belum bisa mendapatkan SHM dikarenakan Developer belum dapat melakukan pemecahan sertifikat induk, dan sertifikat induk diagunkan/dijadikan jaminan oleh Developer kepada Bank pemberi Kredit konstruksi pembangunan siteplan Developer, terhadap Sertifikat induk belum dapat dilakukan pemecahan apabila Developer belum melunasi utangnya kepada Bank.

Tags:

Berita Terkait