Lima Alasan PSHK Tolak ‘Hidupkan’ GBHN Lewat Amandemen Konstitusi
Berita

Lima Alasan PSHK Tolak ‘Hidupkan’ GBHN Lewat Amandemen Konstitusi

Lima alasan itu harus menjadi catatan para elit partai politik baik yang sudah mendukung maupun belum bersikap.

Agus Sahbani
Bacaan 2 Menit

 

Baginya, penghapusan GBHN dalam UUD 1945 bukan tanpa alasan. Apabila tidak belajar dari sejarah dengan membangkitkan GBHN, peluang mengulang sejarah melalui pemakzulan presiden besar kemungkinan bisa terjadi lagi. Dengan model GBHN, presiden hanya diposisikan sebagai pelaksana tugas, sehingga esensi presiden sebagai pemegang arah dan komando pembangunan menjadi hilang. 

 

Ketiga, memperburuk kinerja parlemen. Bagi PSHK, amandemen UUD 1945 satu-satunya jalan mengembalikan GBHN, adalah agenda kompleks yang memerlukan waktu panjang dan menyita banyak waktu anggota MPR yang terdiri dari gabungan anggota DPR dan DPD periode 2019-2024. Padahal, DPR memiliki fungsi lain yaitu legislasi, pengawasan, dan anggaran yang lebih penting ketimbang mengurusi amandemen UUD 1945.

 

DPR periode 2014-2019 saja, hanya berhasil mengesahkan 22 RUU menjadi UU dari 189 RUU yang direncanakan untuk disahkan pada kurun waktu 2015-2019. Capaian itu adalah nilai merah bagi manajemen kinerja DPR dalam 5 tahun terakhir dan akan lebih buruk apabila waktu anggota DPR tersita oleh proses-proses amandemen UUD 1945.

 

“Jadi, waktu kerja yang tersita berpotensi memperburuk kinerja DPR, khususnya dalam fungsi legislasi,” bebernya.

 

Keempat, melawan komitmen arah pembangunan nasional. Sejak GBHN tidak lagi berlaku, perencanaan pembangunan di Indonesia berdasarkan Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) dan saat ini berlaku RPJPN 2005-2025 berdasarkan UU No. 17 Tahun 2007 tentang RPJPN Tahun 2005-2025. RPJPN didukung serangkaian Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) yang sedang proses pembentukan RPJMN fase kelima.

 

Dia menilai apabila para elit politik serius ingin memperbaiki arah pembangunan nasional, tidak perlu menempuh jalur amandemen konstitusi dengan menghidupkan kembali GBHN. Cukup serius mengikuti proses penyusunan RPJMN 2020-2025. Upaya lain dapat memaksimalkan tenaga dan waktu yang ada dengan mengevaluasi RPJPN 2005-2025 dan menjadikan hasil evaluasi itu menyusun RPJPN tahap berikutnya yakni RPJPN 2025-2050.

 

Kelima, melawan prinsip partisipasi publik dalam pemerintahan. Menurutnya, wacana dinamika ingin menghidupkan kembali GBHN hanya mengakomodasi kepentingan elit partai politik yang hendak berebut kekuasaan dan tidak mengakar pada kebutuhan riil masyarakat. “Gagasan mengembalikan GBHN melalui amandemen UUD 1945 harus ditolak. Argumentasi di atas harus menjadi catatan para elit partai politik baik yang sudah mendukung maupun belum bersikap,” katanya.  

Tags:

Berita Terkait