Lima Catatan Kritis PSHK terhadap RUU PPP
Terbaru

Lima Catatan Kritis PSHK terhadap RUU PPP

Penting menerapkan ‘partisipasi yang bermakna’.

Oleh:
Rofiq Hidayat
Bacaan 4 Menit
Suasana sidang paripurna DPR. Foto: RES
Suasana sidang paripurna DPR. Foto: RES

DPR dan pemerintah memberikan persetujuan terhadap Revisi Undang-Undang (RUU) Perubahan Kedua atas UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (PPP)  pada tahap tingkat pertama. Meski belum dibawa ke Rapat Paripurna, masih ada beberapa poin yang mendapat sorotan. Misalnya, dalam proses pembahasan DPR dan pemerintah  masih mengabaikan berbagai hal.  Termasuk cepatnya pembahasan hanya dalam kurun waktu satu pekan.

Direktur Advokasi dan Jaringan Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK), Fajri Nursyamsi berpandangan sejak awal pembahasan RUU tidak transparan. Pendeknya waktu pembahasan berimbas pada minimnya partisipasi publik. Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK) memberikan sejumlah catatan kritik.

Pertama, proses pembahasan mengabaikan asas keterbukaan dan partisipasi publik. Bagi Fajri,  rapat pembahasan RUU yang dipertontonkan tidak memberi ruang publik dalam berpartisipasi. Ironisnya, pembahasan yang tergesa-gesa  dilakukan di luar jam kerja yang berakibat publik tak dapat mengakses. Lagi-lagi, dampaknya publik tak dapat memantau pembahasan pasal-pasal krusial yang disepakati.  Padahal UU PPP hasil revisi nantinya bakal mengikat masyarakat umum.

Fajri mengingatkan bahwa ruang partisipasi digelar pada saat pesiapan RUU PPP. Draf RUU yang diapat diakses publik pada laman resmi DPR per 2 Februari 2022 berbeda dari draf yang digunakan dalam pembahasan DPR bersama pemerintah. Setelahnya, tak lagi ada draf teranyar yang disebar ke publik. Padahal merujuk rumusan norma Pasal 96 ayat (4) UU No. 12 Tahun 2011 mewajibkan  pembentuk UU menyebarluaskan naskah akademik dan draf RUU pada setiap tahapan. “Sepanjang proses pembahasan tidak terdapat ruang dan waktu yang layak bagi publik untuk menyampaikan masukan kepada Pemerintah dan DPR, justru bertentangan dengan kewajiban pelaksanaan konsultasi publik sebagaimana diatur dalam Pasal 96 ayat (7) UU PPP,” “ujarnya melalui keterangan tertulis kepada hukumonline, Jumat (15/4/2022) kemarin.

Kedua, materi pembahasan RUU PPP tidak menyasar akar persoalan tata kelola regulasi. Menurutnya, RUU PPP kontraproduktif dallam mengurai persoalan tata kelola perundangan di Indonesia. Setidaknya, ada sejumlah persoalan dalam tata kelola regulasi. Seperti perencanaan legislasi yang tidak sinkron dengan perencanaan pembangunan. Kemudian, materi muatan yang tidak sesuai dengan bentuk peraturan. Bahkan adanya kondisi hiper-regulasi. Selanjutnya, masih lemahnya pelaksanaan monitoring dan eksekusi rekomendasi dari hasil evaluasi peraturan perundang-undangan. Serta kelembagaan pembentuk peraturan perundang-undangan yang bekerja parsial.

Sayangnya dari kelima persoalan tersebut, pemerintah dan DPR hanya fokus pada persoalan hiper-regulasi yang yakin dapat diurai dengan metode omnibus law. Padahal penggunaan metode omnibus law terbukti tak mampu menyelesaikan persoalan hiper-regulasi. Mengacu pada putusan Mahkamah Konstitusi, UU No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja dinyatakan inkonstitusional bersyarat, UU yang menggunakan metode omnibus law tak mampu mencegah lahirnya regulasi baru dalam jumlah banyak.

Baca juga

  • Meski Tak Bulat, RUU Pembentukan Peraturan Bakal Segera Disahkan
  • YLBHI: RUU Pembentukan Peraturan Justifikasi Buruknya UU Cipta Kerja
  • Tiga Hal yang Perlu Diperhatikan dalam Merevisi UU Pembentukan Peraturan
Tags: