Lima Catatan Kritis PSHK terhadap RUU PPP
Terbaru

Lima Catatan Kritis PSHK terhadap RUU PPP

Penting menerapkan ‘partisipasi yang bermakna’.

Oleh:
Rofiq Hidayat
Bacaan 4 Menit

Pasalnya puluhan aturan turunan terbit sebagai amanat dari UU Cipta Kerja. Tak hanya itu, UU Cipta Kerja tidak mengurangi jumlah UU, melainkan hanya mengubah sebagian ketentuan dalam 80 Undang-Undang lainnya.  Selain itu, metode omnibus law dalam RUU PPP pun tak dapat digunakan sebagia justifikasi telah dilakukannya perbaikan atas Cipta Kerja sebagaimana amanat putusan MK No. 91/PUU-XVIII/2020.

“Dengan demikian, meskipun RUU PPP nantinya disahkan menjadi UU, ia tetap tidak dapat memberikan legitimasi atas metode omnibus yang diterapkan terhadap pembentukan UU Cipta Kerja yang saat ini telah berlaku,” katanya.

Ketiga, RUU PPP tidak menjawab kebutuhan monitoring-evaluasi regulasi. Perubahan pertama UU PPP, lewat UU No. 15 Tahun 2019, dinilai Fajri secara progresif telah mencantumkan kewenangan pembuat UU untuk melaksanakan monitoring dan evaluasi atas UU yang dihasilkan. Mirisnya, DPR dan pemerintah tak menggunakan momentum itu untuk memperjelas pengaturan monitoring dan evaluasi. Malah, monitoring dan evaluasi menjadi persoalan dalam tata kelola peraturan perundangan. Alhasil menyebabkan kerap kali ditemukan tumpang tindih dan ketidakjelasan pelaksanaan suatu peraturan perundangan. DPR sebagai pemegang kekuasaan legislasi dan penyeimbang kekuasaan eksekutif seharusnya menjalankan perannya dengan melihat permasalahan secara sistem. Dia menilai, sikap DPR yang ‘mengalah’ tanpa argumentasi yang jelas menunjukan lemahnya komitmen DPR dalam memperbaiki tata kelola peraturan perundangan.

Keempat, revisi UU PPP membuka ruang kesalahan teknis dalam penyusunan peraturan serta menihilkan prinsip ‘partisipasi yang bermakna’. Menurutnya Pasal 72 draf RUU yang mengatur draf RUU yang telah disetujui dalam paripurna dimungkinkan untuk diperbaiki kembali dalam hal teknis penulisan. Rumusan norma tersebut tak saja menambah panjang jalur birokrasi, tapi mendelegetimasi kerja Tim Perumus dan Tim Sinkronisasi yang bertugas sebagai penyelaras akhir sebelum RUU disahkan dalam rapat paripurna. Baginya rumusan norma Pasal 72 malah melegalkan praktik legislasi yang terburu-buru, serta menihilkan partisipasi publik.

Kelima, menyempitkan ruang publik dalam berpartisipasi. Menurutnya, DPR dan pemerintah memasukan  unsur ‘kelompok orang yang terdampak langsung’ dalam Pasal 96 ayat (3) draf RUU. Unsur tersebut bakal kerap menjadi perdebatan ke depannya. Malahan menjadi alat dalam mengerdilkan gagasan kritis publik hanya karena dianggap tidak terdampak langsung.  Padahal, jaminan persamaan kedudukan dalam pemerintahan bagi seluruh warga negara tanpa terkecuali telah termuat dalam Pasal 27 ayat (1) UUD 1945.

Tak hanya itu, RUU Perubahan UU PPP berpotensi menihilkan prinsip partisipasi yang bermakna, sebagaimana Putusan MK Nomor 91/PUU-XVIII/2020, yang mencakup tiga hak: hak untuk didengar, hak untuk dipertimbangkan pendapatnya, dan hak untuk mendapatkan tanggapan atau jawaban.  “Revisi UU PPP hanya mengakomodasi hak untuk didengar, tetapi tidak menjamin hak untuk dipertimbangkan pendapatnya dan hak untuk mendapatkan tanggapan atau jawaban,” ujarnya.

Terpisah, Direktur Pusat Studi Konstitusi (Pusako) Feri Amsari berpandangan adanya kelalaian dan kesalahpahaman  dalam melihat putusan MK. Menurutnya pemerintah sesuka hati memaknai inkonstitusional bersyarat. Pemerintah beranggapan tak ada satupun pasal dalam UU Cipta Kerja yang dibatalkan MK. Baginya, pernyataan pemerintah terlihat tak mamahami konsep putusan MK. “Itu bisa saja asal jawab kepada publik agar UU Cipta Kerja tetap diberlakukan,” ujarnya dalam sebuah diskusi.

Feri berpendapat pemerintah dan DPR salah target dalam melihat putusan MK No. 91/PUU-XVIII/2020. Menurutnya dalam sembilan amar putusan MK No. 91/PUU-XVIII/2020. Tidak ada satu pun perintah melakukan perbaikan UU No. 12 Tahun 2011. Sebaliknya amanat putusan MK tersebut agar memperbaiki UU No. 12 Tahun 2011. Sekalipun ada gagasan perbaikan, hanya disinggung dalam dissenting opinion. “Kalau DPR dan pemerintah mengikuti disenting opinion tidak sah. Karena disenting bkan tidak masuk dalam amar putusan. DPR dan pemerintah sedang cari masalah saja,” pungkasnya.

Tags: