Lurus Mendayung Arus Sampai Kursi Hakim Konstitusi
Feature

Lurus Mendayung Arus Sampai Kursi Hakim Konstitusi

Perjalanan hidup Maria seperti tidak melibatkan ambisi dan target pribadi yang diletakkannya tinggi-tinggi. Mulai dari berkuliah di kampus hukum terbaik Indonesia hingga menjadi hakim konstitusi, Maria bak orang mendayung mengikuti arus. Namun, ia berhasil mendayung dengan baik hingga terus terbawa ke tempat lebih tinggi.

Oleh:
Normand Edwin Elnizar
Bacaan 9 Menit

Saat kuliah Maria diteruskan masih tanpa cita-cita mau jadi apa. Sejumlah nama dosen ia kenang dengan kesan khusus. Pertama, Selo Soemarjan yang begitu mengayomi mahasiswa. Kedua, Dewi Tri Wulan yang biasa disapa Bu Uti seorang pengajar Ilmu Negara. “Bu Uti mengajar dengan mudah dan jelas. Saat dia mengajar saya membayangkannya seperti penyanyi favorit saya Nana Mouskouri. Ibu ini cantik sekali,” tuturnya.

Ada lagi dosen yang mengesankan bagi Maria bernama Oesman Raliby. Oesman bukan dosen kelas yang harus Maria ikuti. Oesman mengajar kelas Studi Islam, sementara Maria pemeluk Katolik. Hanya saja Maria secara suka rela ikut kelas Oesman saat diajak kawan. “Cara mengajarnya bagus. Di situ saya bisa mendengar dan melihat tentang Al-Qur'an dengan cara yang mudah,” ujarnya memuji.

Bergabung dalam ‘Kesebelasan’

Maria menuntaskan studi sarjana dalam lima tahun. Kala itu studinya masih gabungan hukum tata negara dan hukum administrasi negara dengan nama hukum tantra di bawah asuhan Prof Ismail Suny dan Prof Prajudi Atmosudirdjo. Skripsi yang ia kerjakan dibimbing langsung oleh Prof Prajudi Atmosudirdjo. “Skripsi saya tentang Kesultanan Yogyakarta” kata Maria menjelaskan.

Ujian Maria diuji oleh sembilan dosen dengan penguji utama Profesor Hukum Administrasi Negara Prajudi Atmosudirdjo yang merupakan dosen pembimbingnya. Ia tidak menduga bahwa akhir tahun 1975 itu menjadi titik balik lain yang mengubah rencana hidupnya. Usai ujian skripsi ia ditanya, ‘kamu mau bergabung dalam kesebelasan kami?’. Ternyata sudah ada sembilan dosen (penguji) dan satu asisten dosen. Maria diminta menjadi orang kesebelas.

Ia mengaku ragu saat menerima tawaran itu karena sudah mendapat pekerjaan. “Sebelum ujian skripsi saya sudah mengirim lamaran kerja dan saya dapat pekerjaan di Astra Motor,” ungkapnya. Maria tidak bisa mengelak ketika langsung diajak rapat tim dosen keesokan harinya. Uang honor kerja sebagai tim dosen diberikan di muka, bahkan sebelum pekerjaan ia jalani.

“Saya langsung dikasih uang 30 ribu rupiah untuk menjadi tim peneliti. Lalu saya minta waktu bicara dulu dengan ayah saya,” ujarnya. Maria mengaku selalu bertanya pada ayahnya untuk setiap keputusan besar dalam hidupnya. Di hadapan ayahnya ia mengakui minat pada piano belum pernah hilang. Rupanya ia ingin segera menghasilkan uang untuk membeli piano sendiri.

“Ayah saya bilang menjadi asisten dosen bisa terus sekolah lagi mengembangkan ilmu. Saya pikir-pikir karena sudah terima uang, jadi saya ambil tawarannya,” ujar Maria tertawa. Ada dua asisten dosen dalam kesebelasan Prof. Prajudi saat itu yakni Maria dan Tuti Wardi. Namun, hanya Maria yang terus melanjutkan karier sebagai dosen hingga kini menjadi profesor.

Tags:

Berita Terkait