Lurus Mendayung Arus Sampai Kursi Hakim Konstitusi
Feature

Lurus Mendayung Arus Sampai Kursi Hakim Konstitusi

Perjalanan hidup Maria seperti tidak melibatkan ambisi dan target pribadi yang diletakkannya tinggi-tinggi. Mulai dari berkuliah di kampus hukum terbaik Indonesia hingga menjadi hakim konstitusi, Maria bak orang mendayung mengikuti arus. Namun, ia berhasil mendayung dengan baik hingga terus terbawa ke tempat lebih tinggi.

Oleh:
Normand Edwin Elnizar
Bacaan 9 Menit

Dibimbing A.Hamid S. Attamimi

Belum ada A.Hamid S. Attamimi dalam kesebelasan dosen hukum tantra Fakultas Hukum Universitas Indonesia saat itu. Perjumpaan Maria dengannya juga tidak sengaja. Maria menikah dengan suami yang dosen ilmu budaya di Universitas Sebelas Maret. Ia pun sempat mengajukan pemindahan ke sana. Tiga bulan penantian ternyata pemindahan Maria tidak kunjung diproses Universitas Sebelas Maret.

“Saya tidak diproses di sana jadi ditarik lagi,” kata dia. Akhirnya suami Maria yang berpindah dinas ikut ke Jakarta sambil melanjutkan kuliah di Universitas Indonesia. Andai saat itu pemindahan berjalan lancar, Maria mungkin akan menjadi dosen di Universitas Sebelas Maret.

Saat Maria kembali itu Prof. Hamid sedang mencari asisten. “Saya ditawari dan saya coba.” Takdir menuntun Maria bertemu guru pembimbing yang berpengaruh besar dalam perjalanan hidupnya. Dia adalah A.Hamid S. Attamimi, pakar hukum yang sedang merintis ilmu perundang-undangan di Indonesia kala itu.

Prof. Hamid telaten membimbing asisten. Setiap asistennya rutin diberikan salinan tiap buku baru miliknya untuk dibaca. Rupanya itu untuk memancing diskusi. Kalau tidak ada pertanyaan diajukan ke Prof. Hamid akan ketahuan belum dibaca.

Maria tidak menyadari bahwa kariernya sebagai pakar ilmu perundang-undangan dimulai bersama Prof. Hamid. Ia kerap membawa Maria ikut dalam berbagai rapat di kementerian negara. “Beliau sebagai pakar mengenalkan saya sebagai asistennya. Saya hanya bertugas mencatat isi pertemuan saja,” kata Maria.

Lalu, Maria muda juga dipercaya mendampingi sejumlah kelas perkuliahan Ilmu Perundang-undangan yang diampu Prof. Hamid. Ilmu Perundang-undangan baru wajib di Universitas Indonesia di tahun 1984 yang sebelumnya masih mata kuliah pilihan. “Prof. Hamid sendiri sudah di Universitas Indonesia sejak 1978,” kata Maria. Kelas Ilmu Perundang-undangan yang diisi Prof. Hamid saat itu lebih banyak di Universitas Pancasila, Universitas Tarumanegara, dan Universitas Katolik Parahyangan.

Ia mengaku mendapat banyak dorongan maju dari Prof. Hamid. Prof. Hamid kerap memberi tumpangan pulang kerja dengan mobilnya sampai depan rumah Maria. Di perjalanan itulah, terjadi banyak percakapan guru-murid yang penuh dengan kenangan. Maria berhasil menjadi satu-satunya asisten yang bertahan. Maria pernah disuruh lanjut studi ke Belanda, lalu diarahkan ganti ke Jerman. “Akhirnya malah diminta belajar dengan dia sebagai mahasiswa angkatan pertama program magister hukum di Universitas Indonesia,” tuturnya.

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait