Mahkamah Agung, Corong Undang-Undang?
Kolom

Mahkamah Agung, Corong Undang-Undang?

​​​​​​​Ketentuan yang mengatur tentang hak politik warga negara, merupakan norma hukum baru yang tidak diatur dalam peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi yaitu UU Pemilu.

Bacaan 2 Menit

 

Dalam pandangan MK pembatasan terhadap hak-hak tersebut haruslah didasarkan atas alasan-alasan yang kuat, masuk akal dan proporsional serta tidak berkelebihan. Pembatasan tersebut hanya dapat dilakukan dengan maksud “semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis.

 

Negara Indonesia adalah negara hukum sebagaimana dimuat pada Pasal 1 Ayat (3) UUD 1945, dalam hal ini KPU dalam melaksanakan tugas dan fungsi harus berdasarkan UU Pemilu dan diatur lebih lanjut teknis pelaksanaan melalui Peraturan KPU.

 

Namun kemudian KPU membuat Peraturan KPU Nomor 26 Tahun 2018 tentang Perubahan kedua atas Peraturan KPU Nomor 14 Tahun 2018 tentang Pencalonan Perseorangan Peserta Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Daerah, Peraturan KPU Nomor 20 Tahun 2018 tentang Pencalonan Peserta Pemilihan Umum Anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kab/Kota dan Peraturan KPU Nomor 21 Tahun 2018 tentang Perubahan atas nomor 14 Tahun 2018 tentang Pencalonan Perseorangan Peserta Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Daerah, yang prinsipnya melarang bagi mantan narapidana korupsi untuk mencalonkan diri sebagai calon legislatif pada pemilu 2019.

 

Larangan tersebut dimuat pada Pasal 4 Ayat (3) terhadap Peraturan KPU 20/2018 yang menyebutkan bahwa dalam seleksi bakal calon secara demokratis dan terbuka sebagaimana dimaksud pada ayat (2) yaitu tidak menyertakan mantan terpidana bandar narkoba, kejahatan seksual terhadap anak, dan korupsi.

 

Pasal 7 Ayat (1) huruf g yang menyatakan “tidak pernah sebagai terpidana berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih berdasarkan putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap”.

 

Pada pasal 60 Ayat (1) huruf j menyebutkan bahwa perseorangan peserta pemilu, dapat menjadi bakal calon perseorangan peserta pemilu anggota DPD setelah memenuhi persyaratan bukan mantan terpidana bandar narkoba, kejahatan seksual terhadap anak atau korupsi.

 

Bahwa ketentuan di atas sejatinya tidak sesuai dengan materi muatan pada UU Pemilu Pasal 240, ketentuan tersebut juga sudah dikuatkan oleh beberapa Putusan Mahkamah Konstitusi antara lain: Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 14-17/PUU-V/2007; Putusan 004/PUU-VII/2009;  Putusan 42/PUU-XII/2015; Putusan 71-PUU-XIV-2016.

Tags:

Berita Terkait