Mantan Dirjen Dikti Ingin KKI Dipertahankan
Berita

Mantan Dirjen Dikti Ingin KKI Dipertahankan

Hakim meminta pemohon melampirkan naskah akademik dari UU Tenaga Kesehatan.

ASH
Bacaan 2 Menit
Mantan Dirjen Dikti Ingin KKI Dipertahankan
Hukumonline
Mantan Dirjen Pendidikan Tinggi Kementerian Pendidikan Nasional (Kemendiknas) Satryo Soemantri Brodjonegoro berharap keberadaan Konsil Kedokteran Indonesia (KKI) yang selama ini bekerja secara independen dipertahankan. Hal ini demi menjaga agar semua kepentingan dapat terakomodasi dalam upaya menjamin pelayanan kesehatan bagi masyarakat.

“KKI ini entitas independen yang berdiri di atas semua kepentingan kelompok demi menjamin kepentingan publik,” ujar Satryo saat memberi keterangan sebagai ahli dalam sidang lanjutan pengujian 22 pasal dalam UU No. 36 Tahun 2014 tentang Tenaga Kesehatan yang dimohonkan Komunitas Kedokteran Indonesia (KKI) di ruang sidang Mahkamah Konstitusi (MK), Selasa (15/9).

Guru Besar ITB Bandung itu berpendapat munculnya organ baru, Konsil Tenaga Kesehatan Indonesia (KTKI), sarat berbagai kepentingan karena banyak melibatkan stakeholders bidang pelayanan kesehatan. Misalnya, Kementerian Kesehatan, rumah sakit, fakultas kedokteran, organisasi profesi (IDI, PDGI, perhimpunan dokter spesialis), kolegium spesialisasi, dokter umum/spesialis, pemerintah daerah, dan asosiasi terkait pendidikan dan pelayanan masyarakat.

“Sangat mungkin terjadi konflik kepentingan antar stakeholder yang bisa mengakibatkan kepentingan masyarakat terabaikan. Pemerintah dalam hal ini Kemenkes juga tidak terlepas dari kepentingan birokratis dan politis,” ujarnya.

Dia mengingatkan KKI bertugas memastikan kebijakan setiap stakeholder bidang kesehatan mengarah pada penjaminan kesehatan masyarakat. Setiap pemangku kepentingan harus membuat kebijakan dalam koridornya masing-masing, selanjutnya KKI melakukan sinergi antara kebijakan tersebut agar paradigma “sehat” dapat terwujud.

Menurutnya, KKI bukan entitas mengeksekusi kebijakan dan bukan mengakimi berbagai kebijakan yang salah. Akan tetapi, KKI adalah entitas normatif yang selalu dapat dirujuk seluruh stakeholder dan publik secara luas. “KKI bukanlah instansi plat merah yang dapat dipengaruhi pemerintah lantaran dibiayai negara, tetapi entitas independen,” tegas pria yang tercatat sebagai Guru Besar ITB ini.

Ahli lainnya yang dihadirkan pemohon, HM Laica Marzuki. Mantan hakim konstitusi ini berpendapat bahwa dalam pembuatan UU tidak boleh menyimpangi konstitusi dan mencederai hak konstitusional warga negara. “UU a quo (UU Tenaga Kesehatan) berdampak pada kemandirian organisasi kelembagaan medis, tentunya berpengaruh pula bagi pengguna layanan kesehatan,” kata Laica.

Menanggapi hal ini, Hakim Konstitusi I Dewa Palguna meminta pemohon melampirkan Naskah Akademik UU Tenaga Kesehatan. Sebab, Mahkamah mendapat kesan pemohon sebagai pemangku kepentingan di bidang medis tidak diajak dalam proses pembahasan UU Tenaga Kesehatan ini.

Sebelumnya, Komunitas Kedokteran Indonesia yang terdiri dari Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB-IDI), Pengurus Besar Persatuan Dokter Gigi Indonesia (PB-PDGI), Konsil Kedokteran Indonesia (KKI), dokter Mohammad Adib Khumaidi, dan Salamuddin mempersoalkan sekitar 22 pasal dalam UU Tenaga Kesehatan.

Misalnya, Pasal 1 angka 1, angka 6 sepanjang frasa “Uji Kompetensi”; Pasal 11 ayat (1) huruf a dan huruf m, ayat (2); Pasal 12; Pasal 21 ayat (1), (2), (3), (5), (6) sepanjang kata “Uji Kompetensi”; Pasal 34 ayat (1), (2) sepanjang frasa “Konsil Tenaga Kesehatan Indonesia”; Pasal 35 sepanjang frasa “Konsil Tenaga Kesehatan Indonesia; Pasal 36 ayat (1), (2), (3) sepanjang frasa “Konsil Tenaga Kesehatan Indonesia”; Pasal 37; Pasal 38; Pasal 39 sepanjang kata “Konsil”; Pasal 40 ayat (1); Pasal 41; Pasal 42; dan Pasal 43 sepanjang frasa “Konsil Tenaga Kesehatan Indonesia”; Pasal 90 ayat (1), (2), (3); dan Pasal 94 UU Tenaga Kesehatan.

Ketentuan itu dinilai mengandung kesalahan atau kekeliruan konseptual karena mencampuradukan tenaga medis (profesi dokter, dokter gigi) dan tenaga kesehatan lain tanpa membedakan mana tenaga profesi (dokter dan dokter gigi) dan mana tenaga vokasi (misalnya teknisi gigi). Kesalahan konseptual ini dinilai pemohon bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) dan Pasal 28H ayat (1) UUD 1945.

Pasal 34 ayat (3), misalnya, menyebutkan Konsil Kedokteran dan Konsil Kedokteran Gigi yang dibentuk berdasarkan UU Praktik Kedokteran akan diambil alih (dibubarkan) menjadi bagian dan di bawah KTKI. Pemohon menganggap KTKI bekerja tanpa disumpah, tidak memiliki fungsi pengawasan (penegakan disiplin), dan tidak independen karena bertanggung jawab terhadap Menkes. Hal ini bentuk pencampuradukan atau penyamaan antara tenaga medis dan tenaga kesehatan yang mengacaukan sistem praktik kedokteran.

Para pemohon meminta MK tafsir bersyarat, seperti misalnya dalam Pasal 11 ayat (1a) ditafsirkan ‘istilah tenaga medis dikeluarkan pengaturan UU Tenaga Kesehatan’; menghapus istilah ‘KTKI’ atau diubah dengan ‘Majelis Tenaga Kesehatan Indonesia’ dalam Pasal 34 ayat (3), Pasal 90 ayat (1), (2), (3), Pasal 94 UU Tenaga Kesehatan. Selain itu, frasa “uji kompetensi” dalam Pasal 1 angka 6, Pasal 21 ayat (1)-(6) harus dimaknai “ujian kelulusan akhir”.
Tags:

Berita Terkait