Komunitas Kedokteran Gugat UU Tenaga Kesehatan
Berita

Komunitas Kedokteran Gugat UU Tenaga Kesehatan

Hakim meminta elaborasi kerugian konstitusional dihubungkan dengan pasal konstitusi yang menjadi batu uji.

Oleh:
ASH
Bacaan 2 Menit
Kuasa hukum pemohon, Muhammad Joni (kacamata, bertoga). Foto: Humas MK
Kuasa hukum pemohon, Muhammad Joni (kacamata, bertoga). Foto: Humas MK
Dinilai mengandung kesalahan konsepsional profesi kedokteran (tenaga medis) dan tenaga kesehatan, komunitas kedokteran Indonesia mempersoalkan 22 pasal dalam UU No. 36 Tahun 2014 tentang Tenaga Kesehatan. Pemohonnya, Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB-IDI), Pengurus Besar Persatuan Dokter Gigi Indonesia (PB-PDGI), Konsil Kedokteran Indonesia (KKI), Dokter Mohammad Adib Khumaidi, dan Salamuddin.

Muhammad Joni, kuasa hukum para pemohon, menjelaskan, banyak pasal UU Tenaga Kesehatan bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1), (2) (hak bekerja), dan Pasal 28H ayat (1) UUD 1945 yakni hak sejahtera lahir-batin dan berhak memperoleh pelayanan kesehatan. Wet dimaksud  mengandung kekeliruan konseptual (paradigmatik) karena telah mencampuradukan tenaga medis (dokter, dokter gigi) dan tenaga kesehatan lain.

Menurut Joni, tenaga medis memiliki paradigma, kualifikasi, keluhuran budi, dan kewenangan kompetensi berbeda dengan jenis tenaga kesehatan lain. “Pembedaan antara dokter dan dokter gigi dengan tenaga kesehatan lain bahkan memiliki justifikasi historis,” ujar Joni dalam sidang pemeriksaan pendahuluan yang diketuai Arief Hidayat di gedung Mahkamah Konstitusi, Kamis (30/7).     

Joni mencontohkan Pasal 34 ayat (3) UU Tenaga Kesehatan menyebutkan Konsil Kedokteran dan Konsil Kedokteran Gigi yang dibentuk berdasarkan UU No. 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran akan diambil alih menjadi bagian dan di bawah Konsil Tenaga Kesehatan Indonesia. Padahal, dokter, dokter gigi, dokter spesialis, dan dokter gigi spesialis sebagai Tenaga Medis tidak termasuk Tenaga Kesehatan.  

Konsekuensi berlakunya Pasal 90 ayat (1) dan  (2) UU Tenaga Kesehatan, Konsil Kedokteran Indonesia (KKI) yang ada saat ini akan dibubarkan setelah terbentuk Konsil Tenaga Kesehatan Indonesia. “Nantinya, kedudukan Konsil Kedokteran dan Konsil Kedokteran Gigi diambil alih menjadi bagian atau di bawah Konsil Tenaga Kesehatan Indonesia,” papar Joni dalam persidangan.

Pengacara peduli pembatasan tembakau ini mengungkapkan penyusunan Pasal 11 ayat (1) huruf a dan huruf m, ayat (2), dan ayat (14) UU Tenaga Kesehatan telah keliru menentukan tenaga medis termasuk dalam tenaga kesehatan profesional tanpa membedakan mana yang merupakan tenaga profesi (dokter dan dokter gigi) dan tenaga vokasi (misalnya teknisi gigi). Kesalahan konsepsiaonal ini dinilai pemohon bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) dab Pasal 28H ayat (1) UUD 1945.

Pembubaran KKI, kata Joni, mengakibatkan warga masyarakat tidak terlindungi karena Konsil bertugas melindungi masyarakat dari praktik kedokteran yang tidak sesuai disiplin/etika dan menjaga (mengawasi) profesi kedokteran. “Konsil Tenaga Kesehatan Indonesia (KTKI) bekerja tanpa disumpah, tidak memiliki fungsi pengawasan (penegakan disiplin), dan tidak independen karena bertanggung jawab terhadap Menkes,” bebernya.

“Ini jelas-jelas terjadi pencampuradukan atau penyamaan antara tenaga medis dan tenaga kesehatan. Ini bentuk over mandatory (melebihi mandat) dan mengacaukan sistem praktik kedokteran yang berakibat merugikan masyarakat yang menikmati pelayanan kesehatan dan praktik kedokteran,” tegasnya.    

Karena itu, para pemohon meminta MK tafsir bersyarat, seperti misalnya dalam Pasal 11 ayat (1a) ditafsirkan ‘istilah tenaga medis dikeluarkan pengaturan UU Tenaga Kesehatan’; menghapus istilah ‘KTKI’ atau diubah dengan ‘Majelis Tenaga Kesehatan Indonesia’ dalam Pasal 34 ayat (3), Pasal 90 ayat (1), (2), (3), Pasal 94 UU Tenaga Kesehatan. Selain itu, frasa “uji kompetensi” dalam Pasal 1 angka 6, Pasal 21 ayat (1)-(6) harus dimaknai “ujian kelulusan akhir”.   

Belum fokus
Menanggapi permohonan, anggota Majelis Aswanto mengaku bingung membaca uraian permohonan karena uraian terlalu panjang dan tidak fokus. Dia melihat pemohon belum mengelaborasi pertentangan norma yang dimohonkan dengan pasal batu uji dan belum mencerminkan kerugian konstitusional yang dialami pemohon.

“Seharusnya ini langsung dielaborasi dengan pasal batu uji dan menguraikan kerugian hak konstitusional dengan berlakunya norma yang diuji, bukan kerugian ekonomi. Ini yang belum nampak dalam permohonan,” ujar Aswanto yang menyampaikan saran-saran kepada pemohon.

Ketua Majelis Arief juga meminta agar materi permohonan lebih dipertajam dan lebih fokus. “Supaya lebih fokus, permohonan yang seharusnya lebih diperingkas,” saran Arief.

Arief mengingatkan pertentangan norma yang diuji bisa dilihat secara normatif, sosiologis, dan filosofis dengan konstitusi. “Ini agar masing-masing uraian norma lebih terarah, fokus yang diuraikan dalam posita dan muncul uraian singkat dalam petitumnya,” ujar Arief menyarankan. “Uraian kerugian hak konstitusional para pemohon juga harus lebih diutamakan ketimbang menguraikan kerugian hak masyarakat.”

Patut dicatat, bahwa spesifik, para pemohon menguji Pasal 1 angka 1, angka 6 sepanjang frasa “Uji Kompetensi”; Pasal 11 ayat (1) huruf a dan huruf m, ayat (2); Pasal 12, Pasal 21 ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (5), ayat (6) sepanjang kata “Uji Kompetensi”; Pasal 34 ayat (1), ayat (2) sepanjang frasa “Konsil Tenaga Kesehatan Indonesia”; Pasal 35 sepanjang frasa “Konsil Tenaga Kesehatan Indonesia; Pasal 36 ayat (1), ayat (2), ayat (3) sepanjang frasa “Konsil Tenaga Kesehatan Indonesia”; Pasal 37; Pasal 38; Pasal 39 sepanjang kata “Konsil”; Pasal 40 ayat (1); Pasal 41; Pasal 42; dan Pasal 43 sepanjang frasa “Konsil Tenaga Kesehatan Indonesia”; Pasal 90 ayat (1), ayat (2), ayat (3); dan Pasal 94 UU Tenaga Kesehatan.
Tags:

Berita Terkait