Mantan Dirjen Otda Minta Cuti Petahana Tetap Dipertahankan
Berita

Mantan Dirjen Otda Minta Cuti Petahana Tetap Dipertahankan

Indeks Kerawanan Pilkada 2017 menempatkan petahana sebagai bagian dari indikator kerawanan pilkada.

ASH
Bacaan 2 Menit
gedung MK. Foto: RES
gedung MK. Foto: RES
Mantan Direktur Jenderal Kementerian Dalam Negeri Djohermasnyah Djohan meminta aturan cuti petahana saat kampanye dalam pemilihan kepala daerah (Pilkada) tetap dipertahankan. Hal ini dapat lebih meningkatkan kualitas pilkada dan lebih menjamin pilkada yang demokratis sesuai amanat Pasal 18 ayat (4) UUD 1945 karena ada kesetaraan di antara peserta pilkada.

“Sebaiknya, cuti bagi petahana selama masa kampanye tetap dipertahankan karena lebih banyak manfaatnya daripada mudharatnya,” ujar Djohermasnyah Djohan saat memberi pandangan sebagai ahli pemerintah di sidang lanjutan pengujian Pasal 70 ayat (3) huruf a UU No. 10 Tahun 2016  tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota (UU Pilkada) terkait kewajiban cuti petahana saat kampanyedi Gedung MK, Kamis (6/10).

Permohonan Pasal 70 ayat (3) huruf a UU Pilkada ini diajukan oleh Gubernur DKI Jakarta (petahana) Basuki T. Purnama alias Ahok. Alasannya, pasal ini dapat ditafsirkan bahwa kepala daerah petahana (incumbent) wajib menjalani cuti di luar tanggungan negara saat kampanye sekitar 4-6 bulan. Penafsiran ini dinilai menimbulkan ketidakpastian hukum dan ketidakadilan karena dirinya merasa bertanggung jawab sebagai Gubernur DKI hingga Oktober 2017 untuk menyelesaikan beberapa program prioritas Pemprov DKI secara penuh.

Pasal 70 ayat (3) UU Pilkada seharusnya ditafsirkan bersifat opsional atau pilihan (tidak wajib) cuti kampanye bagi kepala daerah petahana yang hendak mencalonkan kembali di daerah yang sama. Artinya, kepala daerah petahana dapat memilih tidak cuti kampanye agar bisa fokus bekerja secara penuh menyelesaikan tugas kepala daerah dan tidak berkampanye untuk menghindari penyalahgunaan jabatan atau konflik kepentingan.

Djohermansyah menegaskan kewajiban cuti petahana saat kampanye sama sekali tidak mengurangi demokratisnya pelaksanaan pilkada dan malahan bisa lebih berkualitas. Sebab, cuti petahana yang bersifat full off, bukan on-off seperti UU Pilkada sebelumnya, justru petahana terhindar dari godaan abuse of power, bisa lebih fokus berkompetisi secara sehat, ada kesetaraan dengan penantangnya, sehingga persaingan lebih fair. “Penerapan nilai-nilai demokrasi lebih terjamin dibanding pengaturan cuti sebelumnya,” kata dia.

Baginya, pandangan cuti petahana sebagai “hak” bisa saja diubah menjadi “kewajiban” demi mencegah penyalahgunaan wewenang yang kerap terjadi dalam pelaksanaan pilkada. Seperti, pemberian bansos dan hibah, penyalahgunaan APBD, sumbangan pihak ketiga, perizinan, politisasi PNS, pemanfaatan fasilitas negara. Terlebih, hingga kini pengawasan dan penegakan hukum dalam pilkada dirasa belum efektif.

“Sejak 2005 hingga kini sistem pemilihan dan penyeleggaraan pilkada berbuah ‘pahit’ berupa korupsi dan abuse of power. Selama 2005-2016 sudah 366 kepala daerah dari 542 daerah otonom terlibat kasus hukum. Ada ribuan kasus abuse of power yang dilakukan petahana baik yang akan maju atau yang tidak dalam pilkada,” bebernya.

Dalam kesempatan ini, ahli meminta setiap petahana tidak perlu khawatir mandeg-nya jalannya roda pemerintahan daerah akibat cuti kampanye selama sekitar 3,5 bulan. Sebab, pemerintah telah menerbitkan Permendagri No. 74 Tahun 2016 terkait cuti petahana saat kampanye. Bagi gubernur ditunjuk pelaksana tugas (Plt) dari pejabat pimpinan tingkat madya di kemendagri atau pemerintah provinsi.

“Plt Gubernur ini berwenang menangani Perda APBD, Perda Organisasi Perangkat Daerah,  mengawasi day to day pemerintahan termasuk menangani bencana,” katanya.

Sudah tepat
Sementara ahli dari Advokat Cinta Tanah Air sebagai pihak terkait, Masykurudin Hafidz menilai aturan cuti bagi petahana yang diatur Pasal 70 ayat (3) huruf a UU No. 10 Tahun 2016 ini sudah tepat. Dengan cuti kampanye ini, petahana dapat lebih leluasa mengatur waktu dan memiliki kesempatan yang setara dengan pasangan calon lain. Misalnya, dengan memanfaatkan waktu untuk lebih banyak berdialog langsung dengan pemilih.

“Masa kampanye ini saat dimana para kandidat meyakinkan visi dan misinya guna membangun kontrak politik secara berkeadilan dengan masyarakat pemilih. Dengan begitu, demokrasi substansial di level lokal dapat terus dikembangkan,” ujar Koordinator Nasional Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat (JPPR) ini.

Berdasarkan pemantauan saat pelaksanaan Pilkada Serentak 2015, JPPR menemukan penyalahgunaan kewenangan dilakukan kepala daerah petahana terkait bantuan sosial kepada masyarakat, kampanye terselubung, penggunaan fasilitas negara, dan keterlibatan aparatur daerah. Seperti terjadi di Maros, Tangerang Selatan, Bantul, Jember. Tetapi, penanganan pelanggaran ini oleh Bawaslu setempat belum efektif.

“Ini menunjukkan ada praktik tidak adil dan setara antara pasangan calon dalam menyampaikan materi kampanye ketika diikuti calon kepala daerah petahana,” katanya.

Dia mengungkapkan dari 101 daerah yang menggelar pilkada serentak 2017 terdapat 67 daerah diikuti sekitar 99 calon petahana. Makanya, rilis Bawaslu tentang Indeks Kerawanan Pilkada 2017 belum lama ini menempatkan majunya petahana sebagai bagian dari indikator kerawanan pilkada. “Titik kerawanan ini disebabkan potensi penyalahgunaan fasilitas dan kewenangan saat berkampanye dan mobilisasi PNS/ASN untuk kepentingan petahana,” tambahnya.

Dalam sidang ini, ada dua permohonan lain yakni Teman Ahok dkk dan bakal calon bupati Aceh Fuad Hadi. Keduanya memoh MK menguji Pasal 41 dan Pasal 48 UU Pilkada terkait syarat dukungan calon independen yang terdaftar di DPT dan jangka waktu verifikasi faktual 14 hari (No. 54/PUU-XIV/2016) dan Pasal 70 ayat (3) UU Pilkada terkait cuti petahana dimaknai “mundur” saat berkampanye (No. 55/PUU-XIV/2016).
Tags:

Berita Terkait