Masalah Hukum Penundaan Kontrak Akibat Penyebaran Covid-19
Utama

Masalah Hukum Penundaan Kontrak Akibat Penyebaran Covid-19

Force majeur bukanlah keadaan yang terjadi demi kontrak, melainkan demi hukum. Sepanjang tidak diperjanjikan lain, aturan kahar dalam KUH Perdata berlaku.

Oleh:
Hamalatul Qur'ani/Norman Edwin Elnizar
Bacaan 2 Menit

Penanggung Kerugian.

Bila force majeur bisa menjadi alasan pembebasan seseorang dari kewajiban menunaikan prestasinya sesuai dengan yang diperjanjikan, tentu kerugian dari berbagai sektor bisnis tak dapat dielakkan. Pertanyaannya, haruskah pelaku usaha menanggung sendiri risiko kerugian ataukah hukum memberi peluang penanggungan ganti kerugian yang lebih ideal? Dalam hal ini, Abdul Salam dan Ricardo Simanjuntak memiliki pandangan yang senada. Pada prinsipnya, kata Abdul Salam, siapa yang melakukan kesalahan atau kelalaian, maka dia yang akan menanggung risiko kerugian dalam suatu kontrak.

Lain halnya dengan pandemi corona yang telah disepakati sebagai bencana diluar kehendak dan kemampuan manusia. Ia berpandangan, konteks penanggungan rugi dalam kondisi epidemi tetap harus merujuk pada bentuk perjanjiannya terlebih dahulu. Bila belum diatur khusus, harusnya semua orang yang terlibat dalam transaksi itu harus menanggung risiko, setengah-setengah pembagiannya lebih ideal. “Di sini berlaku prinsip keadilan, setiap pihak harus tanggung, lain halnya kalau di perjanjian sudah diatur siapa yang harus tanggung risiko dalam kondisi pandemik,” jelasnya.

Abdul menggaris bawahi konteks penanggungan risiko ini sedikit berbeda dengan konteks penumpang airlines. Dalam kondisi pandemi, masyarakat yang telah membeli tiket pesawat harusnya bisa memperoleh refund 100 persen dalam kurun waktu tertentu yang ditetapkan maskapai. Persoalannya, kalau penumpang membeli tiket promo. Untuk tiket promo, biasanya maskapai tidak menyediakan refund. “Tapi dalam kondisi ini harusnya penumpang tetap mempunyai hak untuk reschedule,” jelasnya.

Sepakat dengan Abdul, Ricardo juga berpandangan untuk tiket promo harusnya bisa dilakukan reschedule dalam kondisi force majeur. Bila maskapai enggan membuka peluang reschedule, artinya maskapai tidak mematuhi akibat hukum dari force majeur. “Dalam kondisi ini maskapai bisa dituntut lewat gugatan,” tegas Ricardo.

Lagi pula, bila maskapai tak mematuhi force majeur, belum tentu akan menguntungkan untuk maskapai, mengingat maskapai pun sebetulnya juga berkontrak dengan pihak lain seperti mitra supplier. “Kalau dia tidak mau menghargai force majeur terhadap konsumen dia, dia juga jangan excuse force majeur kepada mitra supplier dia,” tukasnya.

Tags:

Berita Terkait