Mekanisme Penagihan Utang Fintech Jadi Sorotan
Berita

Mekanisme Penagihan Utang Fintech Jadi Sorotan

OJK meminta kepada Aftech untuk membangun mekanisme pusat data digital bersama yang berisi daftar peminjam bermasalah agar data tersebut dapat digunakan secara bersama-sama oleh industri keuangan untuk mengevaluasi kualitas kredit setiap individu.

Oleh:
Mochamad Januar Rizki
Bacaan 2 Menit
Gedung Otoritas Jasa Keuangan di Jakarta. Foto: RES
Gedung Otoritas Jasa Keuangan di Jakarta. Foto: RES

Penagihan kredit di perusahaan financial technology (fintech) peer to peer lending, RupiahPlus (RP) akhir-akhir ini ramai jadi perbincangan media sosial. Terdapat oknum tim kolektor pinjaman perusahaan tersebut menagih kredit kepada debitur bermasalah melalui pihak ketiga (debt collector) atau rekan peminjam dengan mengakses kontak telepon seluler. Terlebih, penagihan tersebut dilakukan secara intimidatif dan menggunakan kata-kata kasar.

 

Melhat kondisi ini, manajemen RP telah menyampaikan permintaan maafnya kepada masyarakat yang merasa dirugikan akibat tindakan tersebut. RP menyatakan penagihan yang dilakukan pekerjanya tidak sesuai dengan SOP (standar operasional prosedur) perusahaan. Kemudian, pihak RP juga telah melakukan penghentian hubungan kerja terhadap oknum tersebut.

 

Meski telah menyampaikan permintaan maaf, hal lain yang jadi perhatian dalam persoalan ini yakni bagaimana legalitas RP menagih kredit debiturnya melalui pihak ketiga atau rekan?

 

Ahli hukum dan pengacara perlindungan konsumen, David Tobing menilai tindakan tersebut tidak sesuai dengan aturan yang berlaku di Indonesia. Menurut David, pihak perusahaan pembiayaan seperti fintech tidak dapat melibatkan pihak ketiga atau rekan debitur dalam penagihan kredit tersebut.

 

“Tidak bisa dibebankan untuk memaksa nasabah debitur untuk membayar. Apalagi, kalau sampai ada perbuatan yang mengganggu psikis ini sudah melanggar,” kata David saat dihubungi Hukumonline, Rabu (4/7/2018).

 

Menurut David, pihak ketiga tersebut hanya dapat dimintai keterangan atau konfirmasi mengenai profil debitur sebelum pinjamannya disetujui. “Perusahaan pembiayaan harus menelepon pihak yang namanya dicantumkan hanya untuk menanyakan apa tahu atau tidak bahwa debitur mengajukan kredit. Dulu, cara ini masih sering dilakukan, tapi sekarang enggak lagi,” kata David.

 

Permasalahan penagihan kredit ini juga menjadi sorotan Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI). Ketua Harian YLKI, Tulus Abadi menilai maraknya cara penagihan kredit online yang dilakukan dengan menghubungi nomor kontak yang ada di handphone konsumen sebagai penerima pinjaman adalah tindakan yang tidak pantas.

Tags:

Berita Terkait