Melek Omnibus Law II: Menyoal Fleksibilitas Aturan PKWT-Outsourcing
RUU Cipta Kerja:

Melek Omnibus Law II: Menyoal Fleksibilitas Aturan PKWT-Outsourcing

Ada kekhawatiran, dengan menghapus Pasal 59 UU Ketenagakerjaan berarti PKWT bisa dilakukan terhadap semua jenis pekerjaan secara terus-menerus tanpa batas waktu (seumur hidup) dan sulitnya pekerja/buruh menjadi PKWTT.

Ady Thea DA /Agus Sahbani
Bacaan 2 Menit

 

Mengenai outsourcing, Ike menjelaskan RUU Cipta Kerja mencabut Pasal 64 dan 65 UU No.13 Tahun 2003. Meski kedua pasal yang mengatur soal penyerahan sebagian pekerjaan kepada perusahaan lain atau outsourcing dan perjanjian pemborongan pekerjaan ini dicabut, tapi pengaturannya tetap ada dalam Pasal 66 RUU Cipta Kerja.

 

RUU Cipta Kerja juga menghapus pembatasan outsourcing yang sebelumnya hanya untuk 5 jenis pekerjaan yaitu usaha pelayanan kebersihan (cleaning service), usaha penyediaan makanan bagi pekerja (catering), usaha tenaga pengaman (security), usaha penunjang di pertambangan dan perminyakan, serta usaha penyediaan angkutan pekerja.

 

Dengan menghapus Pasal 64 dan 65, kata Ike, RUU Cipta Kerja berupaya membenahi praktik outsourcing yang selama ini tak jarang menuai polemik. Pembatasan jenis pekerjaan yang di-outsourcing berpotensi menimbulkan pelanggaran.

 

Misalnya, perusahaan menggunakan dalih pemborongan pekerjaan untuk melakukan outsourcing terhadap jenis pekerjaan di luar 5 jenis pekerjaan yang dibatasi itu. Padahal, faktanya penyerahan sebagian pekerjaan atau outsourcing yang dilakukan perusahaan itu merupakan mekanisme perjanjian penyediaan jasa pekerja/buruh (PPJP), bukan pemborongan.

 

Secara umum, Ike melihat ketentuan PKWT dan outsourcing dalam RUU Cipta Kerja lebih fleksibel daripada UU No.13 Tahun 2003. Pemerintah berupaya melonggarkan aturan PKWT dan membuatnya lebih fleksibel yakni jangka waktu PKWT tidak ditentukan atau sesuai kesepakatan kedua belah pihak.

 

Pakar Hukum Ketenagakerjaan Prof Payaman Simanjuntak menilai perubahan Pasal 61 UU Ketenagakerjaan dalam RUU Cipta Kerja belum mengatur sumber pendanaan kompensasi bagi pekerja PKWT jika masa kontraknya berakhir. Kemungkinan akan diatur lebih lanjut dalam PP, apakah nanti bentuknya iuran wajib yang dibayar pengusaha atau menggunakan mekanisme lain?

 

“Bagaimana bentuknya uang kompensasi ini sepertinya akan diatur dalam PP,” kata dia.

 

Payaman memberi contoh praktik di perusahaan minyak dan gas dimana perusahaan menabung setiap bulan sebesar 8,33 persen dari upah pekerja. Tabungan itu akan diberikan kepada pekerja yang bersangkutan ketika kontraknya berakhir. “Ini yang perlu dipikirkan pengusaha,” saran dia.

 

Mengenai outsouring, Payaman melihat RUU Cipta Kerja mencabut Pasal 64 dan Pasal 65 UU No.13 Tahun 2003 yang intinya menghapus kriteria dan persyaratan outsourcing. Tapi RUU Cipta Kerja menyederhanakan aturan PPJP sebagaimana diatur Pasal 66 UU No.13 Tahun 2003. Lebih rinci lagi pengaturan outsourcing akan dituangkan dalam PP.

 

PKWT tanpa batas waktu

Ketua Pusat Studi Hukum Ketenagakerjaan Universitas Trisakti, Andari Yurikosari, menilai RUU Cipta Kerja mencabut sejumlah pasal krusial UU No.13 Tahun 2003. Pasal yang dicabut, antara lain mengenai PKWT sebagaimana diatur Pasal 59 UU No.13 Tahun 2003. Dengan menghapus Pasal 59 UU Ketenagakerjaan berarti PKWT bisa dilakukan terus-menerus tanpa batas waktu (seumur hidup).

 

Ketentuan ini semakin membuka celah pelanggaran mengingat sanksi administratif yang diatur Pasal 59 ayat (7) juga dihapus. Pasal ini mengatur sanksi bagi perusahaan jika PKWT tak memenuhi syarat-syarat, demi hukum (otomatis) pekerja menjadi PKWTT. "Penghapusan Pasal 59 ini, apakah melindungi atau malah mengebiri hak-hak pekerja?”

 

Andari menilai Pasal 59 UU No.13 Tahun 2003 sebagai bentuk perlindungan yang cukup baik untuk buruh PKWT. Selama ini, kata dia, Pasal 59 UU Ketenagakerjaan menjadi acuan hakim mengadili perkara hubungan industrial dalam kasus PKWT. Hakim menggunakan Pasal 59 untuk memberi hak pekerja PKWT yang mengalami pelanggaran.

 

Menurut Andari, hubungan kerja itu lahir karena ada perjanjian kerja. Perjanjian kerja merupakan buah kesepakatan para pihak. Andari juga menyoroti ketentuan kerja satuan waktu atau per jam. Sistem kerja per jam ini tidak memberi perlindungan kepada buruh karena kecil kemungkinan dibentuk perjanjian kerja. Posisi tawar buruh semakin lemah karena dihadapkan pada posisi mengambil pekerjaan dengan sistem per jam itu atau tidak.

 

“Untuk jenis pekerjaan lain masih memerlukan perjanjian kerja baik PKWT atau PKWTT. Tanpa hubungan kerja yang jelas, maka perlindungan buruh menjadi kabur.”

 

Wakil Ketua Umum DPP FSP-KEP KSPI Sahat Butar Butar menegaskan persyaratan dalam Pasal 59 UU No.13 Tahun 2003 merupakan bentuk perlindungan bagi buruh. Ketentuan itu mengatur jenis pekerjaan apa saja yang bisa menggunakan PKWT dan berapa lama jangka waktunya, sehingga ada jaminan kepastian hukum.   

 

“Jika PKWT tidak diatur ketat, maka memperkecil peluang buruh dipekerjakan secara PKWTT, ini akan berpengaruh terhadap tingkat kesejahteraan buruh,” kata dia.

 

Hukumonline.com

 

Wakil Ketua Umum KPBI Jumisih berpendapat RUU Cipta Kerja hanya mengakomodir kepentingan investor. Segala ketentuan yang termaktub dalam RUU Cipta Kerja ditujukan untuk memberi kemudahan untuk investasi. Tapi perlindungan dan hak buruh dikurangi. Salah satu buktinya RUU Cipta Kerja menghapus Pasal 59 UU No.13 Tahun 2003.

 

“RUU Cipta Kerja tidak memberi perlindungan dan kepastian keberlanjutan hubungan kerja bagi buruh,” katanya.

Tags:

Berita Terkait